ISLAM YANG SADZAJAH: CORAK BERISLAM MUHAMMADIYAH
Sebelum dijelaskan lebih lanjut
tentang Islam sadzajah, mari kita baca kutipan berikut ini:
Muhammadiyah bergerak untuk
tegaknya Islam, untuk kemenangan kalimah Allah, untuk terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Hanya saja Islam yang digerakkan oleh muhammadiyah
adalah Islam yang sadzajah, Islam yang lugu, apa
adanya, Islam yang menurut al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Saw, dan
menjalankannya dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai ruh Islam.
(Lihat penjelasan Kepribadian Muhammadiyah dalam Manhaj Gerakan
Muhammadiyah, hlm. 48).
Apa
Islam sadzājah itu? Sadzājah semakna dengan sādzāj (jamaknya sudzdzaj), artinya bersahaja, tak ada ukiran
(campuran). Jadi secara bahasa, Islam sadzājah, artinya Islam yang bersahaja, yang belum bercampur, masih murni atau
asli. Makna lain yang sama dengan Islam sadzājah adalah Islam yang fithrati (thabi’i,
natural atau alami). Hal ini sejalan dengan penjelasan Al-Qur`an dalam
surat Ar-Rum/30 ayat 30. Dalam ayat dimaksud dijelaskan bahwa ad-din hanif adalah
fitrah Allah, yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Jadi al-Islam adalah agama fitrah, yakni
agama yang cocok dengan natur atau tabiat diri manusia.
Bagaimana Islam Sadzājah
atau Fithrati itu?
Untuk keperluan pembahasan lebih
lanjut, mari kita mulai dengan membaca surat Ali Imran/3 ayat 83:
uötósùr& Ç`Ï
«!$# cqäóö7t ÿ¼ã&s!ur zNn=ór&
`tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÄßöF{$#ur
$YãöqsÛ $\dö2ur Ïmøs9Î)ur
cqãèy_öã
ÇÑÌÈ
Artinya:
Maka apakah mereka
mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan
diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa
dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.
Ayat Allah di atas menegaskan bahwa
segala apa yang ada di langit dan di bumi telah islam (berserah diri
atau tunduk) kepada Allah SWT, dengan suka maupun terpaksa. Jadi hakikat
ber-islam sebenarnya adalah ketundukan atau penyerahan diri
kepada Allah SWT. Oleh karena seluruh makhluk atau benda-benda di alam tunduk
kepada ketentuan Allah, maka makhluk atau benda-benda itu telah Islam (tunduk,
pasrah) kepada Allah.
Sebagai kaum beriman, kita memilih
untuk tunduk atau berserah diri kepada Allah SWT. Hal ini bermakna kita taat
kepada hukum-hukum Allah. Ketaatan kita kepada hukum-hukum Allah (sunnatullah)
samalah dengan ketaatan segala apa yang ada di langit dan di bumi kepada sunnatullah
(hukum-hukum Allah) juga.
Taat kepada Allah, yang sudah tentu
pula taat kepada Rasul-Nya, merupakan kebutuhan fitrati setiap manusia. Jika
kita tidak taat kepada Allah, maka samalah artinya dengan makhluk atau benda di
alam yang tidak taat kepada hukum-hukum
Allah. Hal yang akan terjadi adalah kerusakan atau kehancuran (fasad fil
ardh). Bayangkan apa yang terjadi jika matahari tidak lagi tunduk kepada
ketentuan Allah untuk terbit di Timur dan tenggelam di Barat. Tentu yang
terjadi adalah kehancuran yang amat dahsyat.
Seorang manusia yang ingkar kepada
hukum-hukum Allah, maka yang akan tejadi adalah kehancuran diri di dunia dan
akhirat. Di dunia, seorang yang ingkar kepada Allah bahkan dapat jatuh kepada
pribadi yang hina, perusak dan pelaku kebinasaan seperti Fir’aun, Namruz, dan
lain-lain.
Islam Sadzājah: Islam yang Digerakkan Muhammadiyah
Sebagaimana kutipan di atas, Islam
yang digerakkan Muhammadiyah adalah Islam sadzājah, Islam yang fithrati, lugu, apa adanya atau alami. Islam
yang sadzajah itulah sesungguhnya Islam-nya Muhammad Rasulullah Saw. Bagaimana
kealamian Islam-nya Rasulullah itu? Dalam bahasa yang simbolik, “Sebagaimana
angin sepoi berhembus yang menebarkan kesejukan”. Kesejukan anginnya menjadi
rahmat (kasih sayang) kepada siapa saja yang dikenainya.
Di bawah ini akan kita sebut beberapa
contoh ajaran Islam yang alami (fithrati atau natural) itu:
1.
Tentang
ibadah.
Mari
kita lihat dan pahami misalnya ajaran Nabi Saw tentang menghadapi musibah
kematian. Nabi mengajari kita agar melakukan tindakan atau amal yang sangat
humanis. Dalam suatu hadits shahih dijelaskan bahwa ketika sampai kepada Nabi
berita matinya Ja’far, maka beliau meminta supaya dibuatkan makanan bagi
keluarga Ja’far karena keluarga ini sedang ditimpa sesuatu yang menyusahkan
(musibah).
Tindakan yang dicontohkan Nabi lainnya terkait musibah kematian adalah
menguatkan hati ahli musibah dengan
mengingatkan mereka supaya bersabar dan menerima ketentuan Allah dengan
keimanan.
Jadi dalam bertakziah, ada dua hal yang mesti dilakukan: pertama, menyiapkan
makanan bagi keluarga atau ahli musibah. Hal ini dapat juga dilakukan dengan
mengumpul sejumlah uang bantuan kemalangan yang diperuntukkan kepada ahli
musibah. Kedua, memberi nasehat agar mereka bersabar dan rida kepada
ketentuan Allah SWT.
Ajaran ini sangat fitrati, humanis, natural atau alami. Jika ditambah-tambah
atau dirusak, maka yang terjadi adalah nilai sadzajah agama akan hilang.
Pada tingkat tertentu ― sebagaimana terjadi di beberapa tempat ― agama
berubah menjadi beban yang membelenggu. Misalnya munculnya upacara-upacara
kematian yang berbiaya mahal.
Contoh lain adalah tentang shalat
berjama’ah. Masjid Rasulullah di Madinah adalah masjid yang hening, adem, nyaman
dari suara-suara yang dapat mengganggu orang di dalamnya atau lingkungan
sekitarnya. Masjid Nabawi itu hanya mengganggu alam sekitarnya ― kalaupun dapat disebut
mengganggu ― dengan suara yang kuat, hanya pada saat-saat
adzan berkumandang pada lima waktu shalat. Tidak seperti kebanyakan masjid kaum
muslimin saat ini. Dengan dalih memperdengarkan bacaan Qur`an dan mengingatkan
waktu shalat, tape recorder dihidupkan dengan suara yang kuat hingga
waktu shalat tiba. Diakui atau tidak, tidak semua orang akan nyaman dengan
suara kaset itu. Apa lagi disekitar masjid ada non muslim. Sudah pasti mereka
akan terganggu. Bandingkan dengan masjid Rasulullah. Sekiranya masjid itu
bertetangga dengan Yahudi, Nasrani atau Majusi, maka mereka tidak akan sampai
terganggu. Begitu pula ketika imam telah selesai mengimami shalat berjama’ah. Masjid
Rasulullah juga tetap hening dan nyaman. Beliau berdzikir dengan sirr (suara
berbisik). Sehingga, jika ada orang ketinggalan rakaat (masbuq), maka ia
tidak akan terganggu dengan suara dzikir saat menyempurnakan rakaat yang
tertinggal.
Model masjid seperti inilah yang
dicontoh oleh masjid-masjid Muhammadiyah dan hendak diwariskan kepada generasi
umat Islam. Suatu model penyelenggaraan ibadah yang fitrati, sadzajah atau
natural.
2.
Tentang
hubungan dengan tetangga.
Dalam Pedoman
Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) kita dituntun agar mengedepankan
akhlakul karimah dalam bertetangga. Tidak saja kepada tetangga yang muslim,
tetapi juga kepada tetangga non muslim. Mari kita baca kutipan berikut ini:
Islam mengajarkan agar setiap Muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan
dengan sesama, seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya,
masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan, baik dengan sesama Muslim
maupun dengan non-Muslim, dalam hubungan ketetanggaan. Bahkan Islam memberikan
perhatian sampai ke area 40 rumah yang dikategorikan sebagai tetangga yang
harus dipelihara hak-haknya.
Setiap keluarga dan anggota Muhammadiyah harus menunjukkan keteladanan
dalam bersikap baik kepada tetangga, memelihara kemuliaan dan memuliakan
tetangga, bermurah hati kepada tetangga yang ingin menitipkan barang atau
hartanya, menjenguk bila tetangga sakit, mengasihi tetangga sebagaimana
mengasihi keluarga/diri sendiri...
Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk
bersikap baik dan adil, mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai
tetangga, memberikan makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan
prinsip-prinsip yang diajarkan agama Islam. (Baca
Manhaj Gerakan Muhammadiyah hlm. 128-9).
Dalam pedoman bermuhammadiyah itu kita juga dituntun agar bertetangga
baik dengan non muslim. Salah satu hadits yang dikutip dalam PHIMW (Manhaj...,
hlm. 190) adalah berikut ini:
Bahwasanya Abdullah bin Amr disembelihkan untuknya seeokor domba oleh
keluarganya. Ketika sampai, ia berkata, “Apakah kalian telah memberikan (daging
domba) kepada tetangga kita Yahudi itu? Apakah kalian telah memberikan (daging domba)
kepada tetangga kita Yahudi itu? Rasulullah bersabda, “Jibril senantiasa
berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, hingga aku mengira,
tetangga akan mendapat bagian dari harta waris.” (Sunan Abu Daud No. 4485
dan Sunan at-Tirmidzi No. 1866).
Jadi seorang muslim, apalagi warga persyarikatan, akan berupaya berbuat
baik kepada tetangganya, meskipun tetangganya itu Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Jadi siapa saja yang bertetangga dengan Pengikut Muhammad, maka mereka
akan damai, nyaman dan tenteram bertetangga dengannya. Pengikut Muhammad itu
akan menjadi rahmat bagi tetangga dan lingkungannya, sebagaimana Nabi yang
diikutnya adalah rahmatan lil’alamin.
Jadi, seorang Pengikut Muhammad itu akan bersungguh-sungguh meneladani
Nabinya dalam bertetangga. Oleh karena Nabi yang mulia tidak pernah menyakiti,
menghinakan atau merendahkan tetangga (muslim atau non muslim), maka ia pun
akan melakukan hal mulia itu sekuat daya dan tenaganya.
Seorang Pengikut Muhammad akan terjauh dari sikap-sikap radikal atau
intoleran. Ia juga akan jauh dari perilaku terorisme. Bahkan ia sangat
membencinya. Karena radikalisme, terorisme dan sikap-sikap anti kemanusiaan
lainnya amat bertentangan dengan akhlak yang dituntunkan dan diteladankan oleh
Nabi ikutannya, Muhammad Rasulullah Saw.
Nabi Muhammad Saw memang keras kepada orang kafir (asyidda` ‘alal
kuffar), yakni keras dalam meyatakan dan mempertahankan keyakinannya
(keimanannya), tetapi tidak pernah mati kasih-sayangnya kepada siapa pun,
meskipun kepada non-muslim. Sebagai bukti-bukti yang mencengangkan dan mempesonakan,
mari kita baca hadits atau tarikh bagaimana beliau bertetangga dan berhubungan
dengan non-muslim.
3.
Tentang cara
menyampaikan Islam.
Rasulullah Saw juga telah menuntunkan dan meneladankan bagaimana
menyampaikan Islam atau menyeru manusia kepada Islam dengan cara-cara yang
sangat humanis. Dalam penjelasan Kepribadian Muhammadiyah tersebut kalimat
seperti ini:
Dengan demikian, perlu difahamkan kepada warga Muhammadiyah, apakah
Muhammadiyah itu sebenarnya dan bagaimana cara membawa /menyebarluaskannya.
Menyebarkan faham Muhammadiyah itu pada hakikatnya menyebarluaskan Islam yang
sebenar-benarnya, dan oleh karena itu, cara menyebarluaskannya pun kita perlu
mengikuti cara-cara Rasulullah saw menyebarkan Islam pada awal pertumbuhannya. (Manhaj..., hlm. 48-9).
Dengan demikian, dalam langkah dan aktifitas dakwah, maka Muhammadiyah
menempuh cara-cara yang humanis, fitrati atau natural. Dalam penjelasan Pokok
Pikiran ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar dinyatakan bahwa dalam menyebarkan faham
agama Muhammadiyah kepada umat Islam dan non-Muslim, dilakukan dengan cara-cara
dakwah yang sifatnya tabsyir (menggembirakan), tajdid (pembaruan/pemurnian),
dan islah (membangun).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dakwah
Muhammadiyah harus mencontoh bagaimana Rasulullah Saw menyeru manusia pada
mula-mula pertumbuhan Islam. Kita semua tahu bahwa Nabi Saw dalam berdakwah
menekankan sifat uswatun hasanah, berlemah-lembut, bijaksana, dan sangat manusiawi (humanis). Tidak akan
kita temukan bahwa Nabi Saw pernah memaksa atau menekan orang untuk menerima
Islam. Justru perlakuan beliau yang fitrati atau alami dalam menyampaikan Islam
itulah yang menjadi salah satu magnit bagi manusia menerima Islam.
Allah SWT menuntunkan bahwa ajaran Islam tidak boleh dipaksakan kepada
orang lain, karena tidak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah/2 ayat 256). Rasulullah
dituntun oleh Allah agar menyadari posisinya hanya sebagai penyampai agama (kebenaran).
Dalam Ali Imran/3 ayat 20 kita jumpai ayat yang terjemahnya demikian:
Kemudian jika mereka
mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku
menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku". Dan Katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab
dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk
Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat
Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
Bimbingan Allah
lainnya dapat kita lihat surat An-Nahl/16 ayat 125-127. Dalam ayat ini Allah
SWT mengingatkan Nabi Saw dan kita, agar dalam mengajak umat manusia kepada
jalan Allah (al-Islam) agar dilakukan dengan cara-cara hikmah, pengajaran yang
baik, dengan dengan argumentasi (cara membantah) yang lebih baik. Terkait
dengan sikap diri dalam aktifitas dakwah, Allah menenuntun supaya bersabar, jangan
bersedih karena pembangkangan mereka dan jangan bersempit dada menghadapi tipu
daya para penolak kebenaran (kaum kafir).
Sikap humanis lainnya
sebagaimana tuntunan Allah dalam surat Fushshilat/41 ayat
34:
wur ÈqtGó¡n@ èpoY|¡ptø:$# wur èpy¥Íh¡¡9$# 4
ôìsù÷$#
ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& #sÎ*sù Ï%©!$#
y7uZ÷t/
¼çmuZ÷t/ur
×ourºytã ¼çm¯Rr(x. ;Í<ur ÒOÏJym ÇÌÍÈ
Artinya:
Tidaklah
sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih
baik. Jika antaramu dengan dia ada permusuhan, seolah-olah dia teman yang
sangat setia.
Surat Fushshilat ayat 34 ini secara nyata mengingatkan agar
menyampaikan Islam dengan humanis. Bahkah, meskipun respon yang kita terima
bersifat negatif, kita tetap berupaya agar hubungan kemanusiaan kita tetap
damai, sejuk, harmonis, dan bersahabat.
Ajaran Islam wajib disampaikan kepada siapa saja, tetapi orang (objek
dakwah) tidak boleh berada dalam posisi tertekan atau terpaksa menerima Islam.
Kemerdekaannya untuk menetapkan pilihan, apakah menerima atau menolak Islam
mesti dihormati. Jadi orang mesti berada dalam posisi bebas dan sadar dalam
menerima Islam. Point inilah yang menjadi salah satu prinsip dakwah Rasulullah
Saw, yang perlu kita teladani dalam
menjalankan dakwah persyarikatan Muhammadiyah.
Penutup
Berdasarkan pernyataan pada
penjelasan Kepribadian Muhammadiyah dan telaahan yang sungguh-sungguh terhadap
pedoman ber-Muhammadiyah, maka dapatlah dipahami bahwa Islam yang digerakkan
oleh persyarikatan adalah Islam yang sadzajah, yang lugu, apa adanya.
Istilah lain untuk corak Islam seperti ini adalah Islam yang fithrati, natural,
thabi’i atau alami. Corak seperti inilah Islam-nya para Nabi hingga Nabi
penutup, Muhammad Rasulullah Saw.
Corak berislam radikalis, teroris dan
liberalis tentu berbeda secara diametral dengan corak Islam sadzajah
sebagaimana dikembangkan oleh persyarikatan Muhammadiyah. Wallahu a’lam.
Padangsidimpuan,
22 Februari 2015
TIDAK SEMUA ORANG YANG DAPAT MENERIMA PENDAPAT SESAORANG, WALAUPUN IA BERLANDASKAN FIRMAN DAN SABDA. AKIBATNYA IA SANGGUP MENYALAHI ORANG LAIN YANG TIDAK SEHARUSNYA IA LAKUKAN. SEANDAINYA IA BERSIKAP ADIL. KEBENCIAAN NYA BERDASARKAN KEBODOHAN..!!! WASSALATU WASSALAAM..!!!
ReplyDelete