JANGAN TERPENGARUH GERAKAN RADIKAL ISIS
Mari kita renungkan pertanyaan ini. Bolehkah mendirikan kekuasaan atas nama Islam dengan cara-cara kekerasan? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita mulai dengan melihat secara cermat dan sungguh-sungguh bagaimana Nabi Muhammad Saw membangun “kekuasaan Islam” (kalau boleh disebut demikian) terutama di Madinah.
Secara jelas-tegas, membangun kekuasaan bukanlah tujuan diutusnya Nabi kita Muhammad Saw. Dalam Al-Qur`an yang sangat kita yakini kebenarannya itu dinyatakan bahwa beliau tidaklah diutus kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin). Bahkan beliau menegaskan demikian, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Dalam bagian lain ayat Al-Qur`an dinyatakan bahwa Nabi diutus untuk membacakan kepada manusia ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa kita, mengajari kita al-kitab dan al-hikmah. Keseluruhan dari misi kenabian dan kerasulan itu bertujuan agar kita benar-benar hidup di jalan yang lurus; menjadi muslim yang hanif. Untuk tujuan inilah beliau menghabiskan waktu hampir 13 tahun di Makkah, yang hanya berhasil mendapat pengikut kurang lebih 200 orang. Di Makkah beliau menjalankan misi dakwah dengan sangat humanis, meskipun beliau dalam tekanan dan serangan. Bahkan sebagian pengikut-pengikut awal itu mengalami penyiksaan yang tak terperikan. Akibat tekanan-tekanan dan penderitaan itu, beliau mengalami goncangan jiwa yang luar biasa, yang kalau bukan karena hati beliau dikuatkan oleh Allah, beliau pasti mengalami putus asa. Meskipun demikian, dengan tuntunan Allah, beliau merespon tindakan-tindakan kaum Quraisy yang anti kemanusiaan itu dengan sangat sabar, bijak dan humanis.
Ditengah kondisi sulit dan menyesakkan dada Nabi itu, Allah ternyata punya rencana untuk dijalankan oleh Rasul terakhir ini. Beliau dan para pengikut diperintahkan hijrah (migrasi) ke Yatsrib, yakni wilayah pemukiman yang kehidupan penduduknya bertani dengan masyarakat yang lebih beradab dari Makkah.
Apa yang dilakukan Nabi di Yatsrib? Nabi kemudian menukar nama Yatsrib dengan Madinah. Madinah itu artinya kota atau beradab. Hal ini menarik untuk direnungkan: beliau tidak menyebutnya sebagai daulah Islamiyah atau khilafah Islamiyah, yakni suatu istilah yang menonjolkan makna kekuasaan. Bahkah istilah yang sangat kental dengan bau politik kekuasaan tersebut tidak ditemukan dalam hadits-hadits beliau. Sekali lagi hal ini semakin meneguhkan pandangan bahwa yang terpenting bagi beliau adalah terdaratkannya Islam secara substantif, bukan secara fomalis atau simbolis.
Substansialisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan publik Madinah tersebut semakin jelas jika kita melihat kasus Mitsaq al-Madaniyyah (Piagam Madinah). Dalam kasus Piagam Madinah ini, Nabi Saw membangun suatu common platform (kesepakatan bersama) dengan komunitas Yahudi dan Nasrani dalam menjaga keutuhan Madinah. Kalau dianalogkan dengan bangsa kita, maka Piagam Madinah itu sangat mirip dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai common platform bangsa untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Orang yang menolak piagam madinah ini dapat saja berdalih bahwa Piagam Madinah itu tidak berumur lama, lalu muncul pemerintahan Islam yang murni. Perlu diketahui bahwa hal ini terjadi karena komunitas Yahudi dan Nasrani mengingkari butir-butir kesepakatan dalam piagam itu. Jika tidak, maka Piagam itu tentu akan berlaku karena butir-butirnya merupakan objektifikasi nilai-nilai wahyu dalam kehidupan publik Madinah. Hal penting lainnya yang harus tetap diingat bahwa tujuan Nabi Saw membangun kehidupan publik di Madinah itu tidak dalam rangka “kekuasaan”, tetapi dalam rangka misi mendaratkan nilai-nilai Islam ke dalam hati manusia.
Marilah kita mencoba berkontemplasi bahwa Islam itu tinggi dan luhur. Allah tidak menghendaki menyampaikan Islam kepada orang lain dengan cara-cara kekerasan (radikalisme). Bahkan kita dilarang menyampaikan Islam dengan cara menindas kebebasan orang lain dalam menerima kebenaran. Kebebasan setiap orang dalam menerima kebenaran adalah hak paling asasi yang harus dihormati. Saudara-saudaraku, itulah setitik gambaran yang dilakukan Nabi kita. Tidak akan pernah kita temukan tindakan atau ucapan beliau yang bersikap menindas kebebasan berpikir orang lain dalam menerima Islam. Apa lagi memaksa atau mengintimidasi orang agar menerima Islam dengan kekuatan senjata. Tindakan intimidasi dan memaksa ini sangat bertentangan dengan tuntunan Al-Qur`an dan cara-cara yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Bandingkanlah… apa yang dilakukan oleh gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) saat ini? Mereka sedang berupaya membangun kehidupan umat Islam dengan kekuatan senjata. Suatu sikap dan tindakan yang mirip zionisme. Apakah mereka dapat dikategorikan sebagai pelanjut misi Nabi atau justru sedang terjebak pada nafsu kekuasaan? Apakah dengan cara seperti itu Islam yang tinggi ini kita daratkan nilai-nilainya di tengah umat manusia di bumi Tuhan ini? Bukankah cara-cara yang tidak humanis dalam menyampaikan Islam itu akan merendahkan dan menghinakan nilai-nilai Islam yang tinggi dan luhur itu? Marilah kita berpikir dengan obyektif dan jernih. Sehingga kita tidak salah jalan dalam menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang rahmatan lili’alamin itu.
Cara-cara kekerasan atau radikalisme bertentangan dengan cara-cara yang dikehendaki Tuhan dalam mendakwahkan Islam. Dengan demikian, tindakan radikalisme model ISIS itu harus kita jauhi. Justru yang kita butuhkan adalah tindakan kenabian yang humanis/manusiawi dalam menyampaikan Islam ke seluruh umat manusia di muka bumi ini. Wallahu a’lam.
Kampus IAIN Padangsidimpuan, 6-8-2014
0 comments: