SIFAT DAKWAH MUHAMMADIYAH DAN KRITIK TERHADAP TRADISI BERBAU SYIRIK PADA MASYARAKAT MUSLIM DI BUMI TAPANULI
Muhammadiyah datang dan tampil ke tengah masyarakat melakukan dakwah yang sifatnya tabsyir, tajdid, dan ishlah (baca: Penjelasan Pokok Pikiran Keenam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah). Hal ini tentu saja meneladani sifat dakwah Nabi yang juga tabsyir (menggembirakan), tajdid (pemurnian), dan ishlah (perbaikan/konstruksi). Dakwah yang tabsyir adalah dakwah yang menggembirakan jiwa dan raga penerima dakwah. Allah SWT menyebut Rasulullah Saw., basyiran wa nadziran (QS 2:119; 34:28; 35:24; 41:4), yakni pembawa pesan/berita gembira dan peringatan. Beriringan dengan pesan tabsyir, Nabi Saw., menyampaikan pesan tandzir, yaitu pesan peringatan akan adanya konsekuensi perbuatan buruk yakni azab yang pedih di akhirat bagi yang memilih sabilut thaghut (jalan pembangkang).
Pesan tabsyir beliau misalnya pesan tentang petunjuk/jalan hidup yang lurus untuk kehidupan yang hasanah fiddunya wa hasanah fil akhirah. Pesan tabsyir ini adalah nikmat dan rahmat Allah yang sangat besar dan agung kepada manusia. Selain pesan tabsyir, beliau juga melakukan tajdid (pemurnian keyakinan keagamaan) di tengah kehidupan kaum Jahiliyah. Nenek moyang kaum Jahiliyah (Ummiyyin) yang menguasai Ka’bah —baitullah yang didirikan Ibrahim a.s., dan Ismail a.s.---pada awalnya adalah kaum yang beragama tauhid. Namun, setelah berabad-abad kemudian Millah Ibrahim yang hanif (agama Tauhid) pupus dari kehidupan masyarakat yang mendiami Makkah. Kepercayaan tauhid yang ditinggalkan Ibrahim —sebagai akibat dari bid’ah dhalalah— berubah menjadi kepercayaan syirik. Nabi Saw., diberi amanat oleh Allah SWT untuk memurnikan kembali keyakinan tauhid yang diwariskan Ibrahim a.s. Selain memurnikan keyakinan tauhid, Nabi Saw., juga melakukan ishlah (perbaikan/reformasi) kehidupan kaum ummiyyin dan ahli kitab yang keadaannya bagaikan berada di tepi jurang neraka (syafa hufratin minannar, QS 3: 103).
Tugas tabsyir, tajdid, dan ishlah terbentang luas di tengah masyarakat. Salah satu tugas tabsyir yang mendesak adalah menjaga dan memelihara agama mereka agar tetap berada di atas jalan hidup yang lurus (shirat al-mustaqim) sehingga terantar kepada kehidupan yang hasanah fiddunya wal akhirah, menolong ummat dan masyarakat agar harkat dan martabat mereka terangkat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Tidak ada dakwah yang lebih menggembirakan masyarakat selain kedatangan Muhammadiyah yang berempati kepada keadaan mereka, dan menolong mereka dari derita kebodohan (kejahilan), kemiskinan, dan ketertinggalan.
Tugas tajdid adalah tugas Muhammadiyah untuk memelihara agama warga persyarikatan dan masyarakat agar tetap berada pada jalan hidup yang hanifan musliman. Tugas ini sebenarnya bagian dari tugas tabsyir. Konsep ini diperlukan karena keberagamaan masyarakat selalu memerlukan sentuhan dan penekanan gerakan dakwah dalam bidang tajdid. Dalam pelaksanaan tugas tajdid ini di lapangan, masih banyak warga masyarakat yang belum menerima dengan terbuka bahkan bersikap antipati kepada gerakan Muhammadiyah. Secara fenomenologis, respon antipati ini muncul, paling tidak disebabkan dua hal: Pertama, cara membawakan dakwah persyarikatan dipandang kaku, sempit, dan harfiah (tekstual). Kedua, dakwah Muhammadiyah dipandang mengeritik dan bahkan menyerang keyakinan tauhid dan bentuk-bentuk tertentu keberagamaan masyarakat.
Dalam hal tauhid, Muhammadiyah —sejak berdiri— bersikap anti terhadap masalah-masalah yang merusak kemurnian tauhid seperti pencampuradukan kepercayaan akidah tauhid dengan sisa-sisa kepercayaan nenek moyang yang berbau syirik. Dalam hal ini Muhammadiyah mengajak masyarakat agar bertauhid yang bersih, murni atau hanif. Dalam Himpunan Putusan Tarjih, setelah dijelaskan pokok-pokok akidah yang benar, selanjutnya dipesankan demikian:
هذه هي اصول العقائد الصحيحة ورود بها القران والسنة وشهدت بها الاثار المتواترة. فمن اعتقد جميع ذلك موقنا به كان من اهل الحق والسنة. وفارق اهل البدعة والضلال
(Inilah pokok-pokok ‘aqidah yang benar yang terdapat dalam Alquran dan Hadis dan dikuatkan oleh pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir. Maka barangsiapa percaya akan semua itu dengan keyakinan yang teguh masuklah ia dalam golongan mereka yang berpegang pada kebenaran dan tuntunan nabi (ahlul haqqi wassunnah, pen.) serta lepas dari golongan ahli bid'ah dan kesehatan). (HPT, 2012: 22).
Di antara yang jadi sasaran kritik Muhammadiyah terkait tradisi atau ritual adat yang dipandang berbau syirik di bumi Tapanuli ini misalnya tradisi “Mangupa Tondi” atau "Upa-upa Tondi". Dalam tradisi Angkola-Mandailing ---sebagaimana dalam tradisi Batak pada umumnya--- makna "Mangupa Tondi" identik dengan acara "Selamatan" atau "Kenduri Arwah" dalam tradisi Jawa. "Mangupa Tondi" adalah upacara adat yang bertujuan mengembalikan atau bisa menguatkan "tondi" (roh, spirit) orang yang sakit, tertimpa musibah, atau bahkan yang memperoleh keburuntungan (misalnya naik jabatan), sehingga dengan "upa-upa tondi" ini yang bersangkutan memiliki spirit yang kuat untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Upacara adat ini mempergunakan benda-benda/barang tertentu yang disebut "barang pangupa" yang terhidang di atas tampi antara lain kepala kerbau/lembu atau kepala kambing, nasi, telor putih, garam, dan lain-lain. "Barang Pangupa" ini dijadikan simbol oleh seorang tokoh adat penutur poda (nasehat) untuk menyampaikan permohonan "hahorasan", keselamatan, dan kebaikan kepada Tuhan (Dewi, 2012: 83).*
Pada masyarakat muslim tertentu di tanah Tapanuli ini, tidak sedikit yang meyakini bahwa "mangupa tondi", “upa-upa tondi”, atau "mangupa" berikut barang "upa-upa" itu menjadi sarana doa untuk mendapatkan “hahorasan” (kebahagiaan, harapan akan kebaikan atau keselamatan). Contoh lain selain barang “upa-upa” yaitu menjadikan benda-benda tertentu semisal kelapa muda dan “si dingin-dingin” sebagai sarana memohon doa kebaikan anak yang baru lahir. Benda-benda yang disebut terakhir ini biasa dimunculkan saat penabalan nama bayi. Dan masih banyak lagi yang tidak perlu disebutkan di sini. Pembela tradisi ini mengatakan bahwa benda-benda itu digunakan oleh nenek moyang di masa lalu sebagai sarana bermohon kepada Tuhan karena dulu mereka belum mengenal tulis baca. Jadi benda-benda itu hanya simbolisme dalam menyampaikan permohonan kepada Tuhan. Pembelaan ini sebenarnya hanya bersifat apologis, karena kenyataannya sebagian masyarakat yang mempraktikkan tradisi ini sudah terlanjur mengkuduskan upacara "Mangupa" itu dan berikut benda-benda/barang-barang ritual adat "Mangupa" dimaksud. Buktinya ada di antara warga masyarakat yang mewajibkan tradisi “Mangupa” untuk keluarganya. Bahkan ada yang bernazar, misalnya dengan mengatakan, “Jika anakku lulus PNS maka aku akan mengundang tetangga untuk syukuran dan “mangupa-upa”. Kalimat lain misalnya, “Jika anakku sembuh dari penyakitnya maka akan ku buat “upa-upa tondi” di rumah”.
Mari kita renungkan ritual adat yang ditradisikan turun-temurun ini? Apa bedanya dengan tindakan kaum Jahiliyah di masa Nabi Saw., yang memandang berhala yang mereka buat sebagai sarana memohon keselamatan dan kedekatan kepada Tuhan? Dan mereka juga mengantarkan sesaji kepada berhala untuk mendapatkan rida dan pertolongan Tuhan? Dalam hal benda atau barang "upa-upa" seolah-seolah mereka yang melaksanakan ritual "mangupa" itu berkata, "Kami tidak melakukan upacara "mangupa" ini melainkan supaya Allah mendengar doa atau permohonan kami dan memberi "hahorasan" kepada kami."
Sebagai ibrah untuk memperkuat perenungan kita, mari kita baca firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 3 yang mensetir keyakinan syirik kaum Jahiliyah:
ويعبدون من دون الله ما لا يضرهم ولا ينفعهم ويقولون هؤلاء شفعاؤنا عند الله
Artinya:
Kami tidak menyembah mereka (berhala, pen.) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Syaikh Shafiurrahman al-Mubarakfuri (2025: 74) menyebutkan bahwa kaum Jahiliyah bahkan mengkhususkan sebagian dari makanan dan minuman yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan binatang piaraan mereka sebagai persembahan.
Dalam hal pelaksanaan dakwah yang bersifat ishlah (perbaikan, membangun), dakwah persyarikatan dilakukan dengan cara datang ke tengah masyarakat dengan maksud turut serta memperbaiki dan membangun masyarakat sehingga tercipta masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana amanat tujuan Muhammadiyah. Kehadiran Muhammadiyah di tengah masyarakat, tentu saja tidak untuk mendekonstruksi bangunan sosial masyarakat tetapi membantu merekonstruksi dan mengembangkannya sesuai dengan kehendak Ilahi yaitu suatu konstruksi masyarakat yang diikhtiarkan menjadi baldatun thayyibah wa rabbun ghafur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945.
Kata Penutup
Penting digarisbawahi bahwa posisi setiap warga Muhammadiyah dalam membawakan dakwah yang sifatnya tabsyir, tajdid, dan ishlah hanyalah sebagai muballigh, yakni penyampai agama yang bilhikmah walmau'izhah hasanah. Penyampai agama yang seperti ini tidak boleh memaksakan pemahaman agamanya kepada orang lain. Orang lain haruslah tetap diposisikan sebagai insan yang bebas dan merdeka untuk memutuskan atau menentukan pilihan. Hanya mereka yang berprilaku thaghut yang bersikap memaksa/menekan orang agar menerima pemahaman dan pengamalan agamanya. Sekali lagi, pesan berbentuk kritik yang disampaikan kepada keberagamaan masyarakat mestilah dalam konteks dakwah kenabian yang bilhikmah wal mau'izhah hasanah. Wallahu a'lam.
________________
*Salamiah Sari Dewi, 2012, "Kecerdasan Emosional dalam Tradisi Upa-upa Tondi pada Etnis Mandailing", Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 4 (1).
____________
Gambar:
Pengajian Anggota Muhammadiyah se Kota Padangsidimpuan di Ranting Sabungan Singali, Kec. Psp. Hutaimbaru yang diisi oleh ustadz Mahmud Yunus Daulay, M.A., Wakil Ketua PWM Sumatera Utara.
0 comments: