SECERCAH PENGANTAR KEPADA FILSAFAT ILMU KEISLAMAN
BAGAIMANA MELAKUKAN ANALISIS KEFILSAFATAN DALAM MATA KULIAH FILSAFAT ILMU KEISLAMAN
PADA PROGRAM DOKTOR STUDI ISLAM?
Anhar
Program Studi Pend. Agama Islam
UIN Syahada Padangsidimpuan
E-mail: anhar@uinsyahada.ac.id
ABSTRACT
The main purpose of this article is to explain two things, first the meaning of Islamic Science with a focus on the academic labeling that has developed about this subject, namely 'Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islamiy, and Dirasah Islamiyah. Second, the methods that can be used to analyze the topics/lecture materials in the Philosophy of Islamic Science course, namely ontological, epistemological, and axiological analysis. The word philosophy in this course requires that the analysis be carried out from the perspective of the philosophy of science, namely ontological, epistemological, and axiological perspective analysis. The aim is for students to be trained in applying philosophical analysis and to be intensely involved in the dialectic of studying Islamic sciences, so that the path will be open to them to formulate a new synthesis of thought or even a new theory. This article is useful as an initial introduction for students in understanding the methodological aspects of philosophical studies/analysis in the Philosophy of Islamic Science course.
ABSTRAK
Tujuan pokok artikel ini adalah memberi penjelasan dua hal, pertama arti Ilmu Keislaman dengan fokus penjelasan pada pelabelan akademik yang berkembang tentang subjek ini, yaitu ‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islamiy, dan Dirasah Islamiyah. Kedua, cara yang dapat dilakukan dalam menganalisis topik/materi perkuliahan pada mata kuliah Filsafat Ilmu Keislaman, yaitu analisis ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kata filsafat dalam mata kuliah ini menghendaki agar analisis dilakukan dalam perspektif filsafat keilmuan, yaitu analisis perspektif ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Tujuannya agar mahasiswa terlatih menerapkan analisis kefilsafatan serta terlibat intens dalam dialektika kajian ilmu-ilmu keislaman, sehingga akan terbuka bagi mereka jalan untuk merumuskan sintesis pemikiran baru atau bahkan teori baru. Artikel ini berguna sebagai pengantar awal bagi mahasiswa dalam memahami aspek metodologi kajian/analisis kefilsafatan pada mata kuliah Filsafat Ilmu Keislaman.
KATA KUNCI: analisis kefilsafatan, filsafat ilmu keislaman, studi Islam
PENDAHULUAN
Meskipun perkuliahan Filsafat Ilmu Keislaman sudah berjalan mendekati tengah semester, sebagian besar mahasiswa angkatan pertama program doktor Studi Islam Pascasarjana UIN Syahada Padangsidimpuan tampak belum paham dengan baik maksud analisis kefilsafatan dalam mata kuliah ini. Beberapa makalah yang dipresentasekan belum berhasil memperlihatkan analisis kefilsafatan yang serius yang menjadi concern mata kuliah ini. Mahasiswa tampaknya belum dapat membedakan secara spesifik subjek Pemikiran Islam (Islamic Thought), Metode Studi Islam (Islamic Studies) dengan Filsafat Ilmu Keislaman (Philosophy of Islamic Science). Hal ini terjadi karena pertama, di antara mahasiswa ada yang belum pernah mengikuti mata kuliah Filsafat Ilmu atau Filsafat Umum saat di Strata Satu dan Strata Dua. Kedua, secara umum mahasiswa belum memiliki kompetensi kefilsafatan yang benar-benar mendukung analisis. Ketiga, mata kuliah ini belum familiar di kalangan mahasiswa. Bahkan dipandang elitis oleh sebagian mahasiswa. Kajian kefilsafatan dalam ilmu keislaman bagi mahasiswa dan juga bagi sebagian besar pengkaji Islam di berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia —tak terkecuali di UIN Syahada Padangsidimpuan— masih dipandang ‘asing’. Dari tiga alasan di atas, dapat dimengerti mengapa metode dan pendekatan kajian dalam mata kuliah Filsafat Ilmu Keislaman ini belum dipahami dengan baik.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka urgen untuk menjelaskan prosedur analisis kefilsafatan yang diperlukan dalam melakukan pembahasan mata kuliah Filsafat Ilmu Keislaman. Penjelasan pengantar ini diharapkan memberi wawasan metodologis kepada mahasiswa sehingga mereka dapat menghadirkan analisis filosofis yang tajam tentang topik-topik materi perkuliahan.
PROSEDUR PENELITIAN
Langkah yang dilakukan dalam mendeskripsikan informasi keilmuan dalam artikel ini yaitu: Pertama, memamahi problem keilmuan mahasiswa dalam menghadirkan analisis kefilsafatan dalam penulisan dan penyajian makalah. Bagian ini telah disinggung dalam pendahuluan. Kedua, menjelaskan subjek kajian mata kuliah, yaitu Ilmu Keislaman. Fokus pembahasan pada bagian ini adalah pembedaan subjek kajian, yaitu ‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islamiy, dan Dirasah Islamiyah. Pemahaman terhadap subjek ini penting karena subjek kajian menjadi kancah atau lokus pembahasan. Ketiga, menjelaskan fokus utama artikel ini yaitu analisis metodologis kefilsafatan yang diterapkan dalam ruang kajian Filsafat Ilmu Keislaman.
Metode analisis artikel ini menerapkan metode deskriptif-kualitatif pada bagian pertma, metode analisis deduktif–kritis-historis untuk pembahasan pada bagian kedua, dan metode analisis deduktif-kritis-filosofis untuk pembahasan bagian ketiga.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ilmu Keislaman: ‘Ulum al-Din, al-Fikr al-Islamiy, dan Dirasat Islamiyyah
Dalam kajian ilmu-ilmu keislaman muncul pelabelan berupa ‘Ulum al-Din, al-Fikr al-Islamiy, dan Dirasat Islamiyyah. Pelabelan ini dibutuhkan untuk membedakan bentuk dan karakteristik kajiannya masing-masing.
Ketika disebut ‘Ulum al-Din (Religious Knowledge), maka pelabelan ini merujuk kepada Ilmu-ilmu Agama sepertia aqidah dan syari’ah dengan menggunakan ilmu bantu bahasa untuk memahami kandungan dan arti nash atau teks kitab suci, dan logika deduktif untuk menurunkan hukum-hukum, aturan-aturan, dan norma-norma dari kitab suci. Dari sini selanjutnya lahir Ilmu-ilmu Agama seperti Kalam, Fiqh, Tafsir, Qur`an, Hadits, Faraidh, Aqidah, Akhlaq, Tashawuf, Ibadah (Abdullah, 2020, #38).
Ilmu Agama (Islam) ini mengalami kematangan pada abad ke-2 dan ke-3 hijriyah. Di abad pertama, dikusrsus keilmuan sudah berjalan. Hanya saja belum memperlihatkan metodologi keilmuan yang koheren dan konsisten sebagaimana metodologi dalam mazhab kalam dan fiqh. Namun demikian, cara bernalar yang dilakukan masih nalar tekstual bil ma’tsur. Hal ini dapat diketahui dari bentuk uraian atau deskripsi pengetahuan yang dituliskan. Lihatlah misalnya uraian-uraian dalam Tafsir Ibnu Abbas. Penulis (Ibnu Abbas, wafat 68 H) —sebagaimana juga kecenderungan kajian agama pada masa itu— menggantungkan uraiannya kepada tekstualitas Al-Qur`an, Hadits, dan atsar ash-shahabat, dan berupaya meminimalisir penggunaan ra’y (rasio) dalam interpretasinya. Hal ini dapat dimengerti karena tafsir ini ditulis masih sangat dekat dengan nubuwwah (kenabian) Rasulillah Saw. Dengan demikian, isi pesan-pesan dalam yang jadi rujukan (ma'tsurat) dipandang masih aktual dengan kehidupan masa itu.
Dalam perkembangan keilmuan di era modern, bahan dasar/pokok Ilmu Agama (ushuluddin) ini disistimatisasi dan distrukturisasi secara akademis dengan melibatkan pendekatan sejarah pemikiran (origin, change, dan development) sebagaimana dilakukan misalnya oleh Harun Nasution dengan karya Teologi Islam: Aliran, Sejarah, dan Analisa Perbandingan, maka secara akademik ‘Ulumuddin berkembang menjadi subjek kajian yang secara luas dikenal di lingkungan perguruan tinggi sebagai al-Fikr al-Islamiy [Pemikiran Islam] (Abdullah, 2020, #39). M. Amin Abdullah menegaskan bahwa al-Fikr al-Islamiy atau Islamic Thought mempunyai struktur ilmu dan the body of knowledge yang kokoh dan komprehensif-utuh tentang Islam, sementara Ulum al-Din sering kali hanya menekankan atau memilih bagian tertentu saja atau satu-dua saja dari the body of knowledge pengetahuan tentang Islam yang utuh komprehensif tersebut. Terkadang penekanannya hanya pada pemikiran kalam saja atau aqidah saja dengan meninggalkan kajian filsafat. Begitu pula Fiqh, tidak bersentuhan dengan tasauf. Hadits, tidak bersentuhan dengan pembahasan aspek sosio-antropologi kemunculan teks hadits, dan seterusnya. Dengan demikian, dalam ‘Ulum al-Din, ruang lingkup kajiannya benar-benar mono disiplin yang sempit.
M. Amin Abdullah menjelaskan (Abdullah, 2020, #40-41):
Studi ‘Ulum ad-Din di berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia, hampir-hampir kehilangan horizon keilmuan keislaman yang utuh, luas dan komprehensif. Hal ini dikarenakan pengajaran ‘Ulum ad-Din kontemporer lebih bercorak partial, redukstif, selektif, tanpa melihat ketersambungan dan keterkaitannya dengan kluster yang lain dalam satu rumpun disiplin keislaman. Dengan begitu tidak cukup lagi orang yang belajar Islam hanya terbatas pada ‘Ulum ad-Din yang parsial, parachial, sectarian, provincial, dan reduktif, jika seseorang ingin mempelajari khazanah intelektual Islam secara utuh, mendalam dan komprehensif. Kehadiran pemikiran Islam (al-fikr al-islamiy; islamic thought) yang pendekatannya lebih historis, sistimatis, utuh-komprehensif, non-sekatarian, tidak provincial, tidak parachial, sebenarnya sangat menolong untuk mengisi kekurangan yang dialami dan melekat pada corak pembelajaran dan praktik pengajaran ‘Ulum ad-Din tersebut di atas.
Ketika diskursus, dialektika, silang pendapat antara ‘Ulum ad-Din dan al-Fikr al-Islamiy belum duduk dan selesai, dunia akademis kajian Islam terus berkembang. Bebagai penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, buku, dan berbagai forum seminar tentang Islam yang pengkajiannya menggunakan pendekatan dan metode ilmu-ilmu modern seperti sosiologi, antropologi, historis, fenomenologi, hermeneutika, dan sebagainya yang dilakukan oleh peneliti atau pengkaji dari kalangan insider dan juga outsider mengakibatkan munculnya kluster baru kajian Islam yang disebut dengan Dirasah Islamiyyah (Islamic Studies).
Epistemologi kajian Dirasah Islamiyyah memiliki perbedaan dengan pendahulunya (‘Ulum ad-Din dan al-Fikr al-Islamiy). Perbedaanya tampak mulai dari asumsi-asumsi dasar (basic assumtion) studi yang digunakan, cara berpikir mendekati objek/persoalan akademik yang dihadapi (approaches), dan cara kerja memperoleh data/informasi (process and procedure). Kluster Dirasah Islamiyah ini, selain masih mereferen kluster ‘Ulum ad-Din dan al-Fikr al-Islamiy, ia juga ditopang oleh riset lapangan, pengamatan historis-empiris yang ‘objektif’ tentang dinamika sosial, ketersambungan (continuity) dan perubahan (change), pola (pattern), dan trends pergumulan sosial politik, ekonomi, budaya, pola-pola ketegangan, konflik, harmoni, dan merekam pluralitas interpretasi makna oleh para pelaku di lapangan (Abdullah, 2020 #42). Contoh untuk kajian Dirasah Islamiyah yang melibatkan ilmu sosial dan riset lapangan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Hasan Bakti Nasution dkk., tentang akulturasi Hadits dengan tradisi perkawinan masyarakat Muslim Batak Angkola Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Nasution, dkk., 2022). Kajian Islam dengan melibatkan ilmu sosial dan riset lapangan tentu saja tidak dikenal pada kluster ‘Ulum ad-Din dan al-Fikr al-Islamiy. Bagi mereka yang terbenam pada kluster kajian Islam ‘Ulum ad-Din akan terkejut melihat kajian-kajian seperti ini. Bahkan ada yang berpandangan kajian demikian ini telah keluar dari pakem Ilmu-ilmu Keislaman.
M. Amin Abdullah (Abdullah, 2020, #42) menjelaskan bahwa dalam tradisi baru keilmuan Dirasat Islamiyah (Islamic Studies) ini, pendekatan kritis dan comparative (perbandingan) sangat diutamakan. Di sisi lain, metode dan pendekatan historis, psikologis atau sosilogis dalam kajian/riset juga digunakan. Theoritical frame work (kerangka teori) juga digunakan dalam memandu analisis data yang terkumpul dari lapangan. Dengan kata lain, Dirasat Islamiyyah selalu menggunakan metode kerja dan tata pikir ilmu-ilmu sosial untu menganalisis keberagamaan umat Islam di alam nyata, selain tentunya dalam alam teks dan alam rasio.
Analisis Kefilsafatan dalam Kajian Ilmu Keislaman
Filsafat (dari bahasa Latin philosophia), secara bahasa artinya cinta kebijaksanaan, love of wisdom. Filsafat diartikan sebagai “philosophy is the study or creation of theories about basic things such as the nature of existence, knowledge, and thought, or about how people should live” (Keane & Phipps, n.d.) (Filsafat adalah studi atau penciptaan teori tentang hal-hal dasar seperti sifat keberadaan, pengetahuan, dan pemikiran, atau tentang bagaimana orang harus hidup).
Dalam menerapkan pendekatan filsafat (philosophical approach) dalam mengkaji objek —dalam hal ini ilmu-ilmu keislaman— megharuskan pengkaji melakukan alisis kritis objek kajian dalam perspektif ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Oleh karena itu, para pengkaji —dalam hal ini dosen dan mahasiswa— mesti mempertajam pisau analisis ontologis, epistemologis, dan aksiologis ketika berada pada ruang kajian.
Analisis Perspektif Ontologis
Ontologi (ontology, bahasa Latin ontologia) yaitu science of being (ilmu tentang keberadaan). Ontologi adalah “philosophical study of being in general, or of what applies neutrally to everything that is real” (Cambridge Free English Dictionary and Thesaurus, 2025) (kajian filsafat tentang keberadaan secara umum, atau tentang apa yang berlaku secara netral pada segala sesuatu yang riil).
Ontologi adalah “…branch of philosophy, specifically metaphysics, that deals with the nature of being, existence, and reality. It explores questions about what exists, the fundamental categories of being, and the relationships between entities. In social research, ontology also refers to beliefs about the nature of reality, particularly social reality ontology is a branch of philosophy, specifically metaphysics, that deals with the nature of being, existence, and reality. It explores questions about what exists, the fundamental categories of being, and the relationships between entities. In social research, ontology also refers to beliefs about the nature of reality, particularly social reality” (Floridi, 2003, #155) (…cabang filsafat, khususnya metafisika, yang membahas tentang hakikat keberadaan, eksistensi, dan realitas. Cabang ini mengeksplorasi pertanyaan tentang apa yang ada, kategori fundamental keberadaan, dan hubungan antar entitas. Dalam penelitian sosial, ontologi juga merujuk pada keyakinan tentang hakikat realitas, khususnya realitas sosial).
Perspektif ontologi dalam kajian Ilmu Keislaman diarahkan kepada —di antaranya— studi tentang pemahaman ontologis seorang pemikir tentang sumber-sumber kajian, misalnya pemahaman ontologis pemikir terhadap Al-Qur`an dan kitab turats. Di sisi lain adalah perspektif ontologis seorang pengkaji tentang eksistensi dan hubungan wahyu, akal, hati, dan indera. Di era klasik Islam, ada yang memiliki pandangan ontologis bahwa Al-Qur`an adalah makhluq dan ada pula yang memandang qadim. Pandangan klasik ini masih berlanjut hingga sekarang. Mereka yang berpandangan bahwa Al-Qur`an adalah makhluq, maka Kitab Suci ini saat diturunkan dipengaruhi oleh budaya Arab, dan oleh karenanya terbuka untuk diinterpretasi oleh akal, sementara mereka yang berpandangan bahwa Al-Qur`an bersifat qadim, maka akal manusia tidak boleh melakukan ta’wil (interpretasi) yang keluar dari makna teks). Akal mesti tunduk kepada tekstualitas wahyu (Mukhtar et al, 2022, #141-158).
Seorang peneliti yang melakukan kajian akan tampak bagaimana perspektif ontologis yang dimilikinya. Misalnya, dalam memandang kitab-kitab turats atau metodologi pemahaman klasik. Ada di antara pengkaji berpandangan bahwa produk ilmiah di masa lalu tidak berkaitan dengan perkembangan intelektual, sosial dan budaya pada masa itu. Oleh karena itu terbebas dari pengaruh perubahan (atau pengaruh ruang dan waktu). Penomena pandangan ontologis seperti ini disebut oleh Mohammad Arkoun sebagai taqdis al-afkar ad-diniy [pengkudusan pemikiran Islam] (Lukman S. Thahir, 2022).
Analisis Perspektif Epistemologis
Epistemologi (dari kata “episteme” dan “logos”). “Episteme” can be translated as “knowledge” or “understanding” or “acquaintance”, while “logos” can be translated as “account” or “argument” or “reason” (Steup & Neta, 2005). (“Episteme” dapat diterjemahkan sebagai “pengetahuan” atau “pemahaman” atau “kenalan”, sedangkan “logos” dapat diterjemahkan sebagai “catatan” atau “argumen” atau “alasan”) . Menurut istilah, epistemologi adalah philosophical study of the nature, origin, and limits of human knowledge. The term is derived from the Greek epistēmē (“knowledge”) and logos (“reason”), and accordingly the field is sometimes referred to as the theory of knowledge [studi filosofis tentang hakikat, asal usul, dan batas-batas pengetahuan manusia. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani epistēmē (“pengetahuan”) dan logos (“akal”), dan karenanya bidang ini kadang-kadang disebut sebagai teori pengetahuan] (Epistemology | Definition, History, Types, Examples, Philosophers, & Facts, n.d.). Epistemologi disebut juga sebagai cabang inti filsafat yang membahas tentang hakikat, asal-usul, dan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi dapat dianggap sebagai studi tentang pengetahuan itu sendiri, terlepas dari bidang subjek tertentu yang diketahui [misalnya, matematika, sains, ekonomi] (Branches of Philosophy - Philosophy - Research Guides at Saint Francis University, 2007). Secara historis, epistemologi telah menjadi salah satu subjek filsafat yang paling banyak dikaji dan diperdebatkan. Sebagian besar pembahasan epistemologi menyangkut pembenaran klaim pengetahuan dan berfokus pada bagaimana pengetahuan berhubungan dengan konsep-konsep seperti kebenaran, kepercayaan, dan bukti. Isu-isu dasar dalam epistemologi meliputi peran pengalaman, peran logika, membedakan "knowing that" from "knowing how" ("mengetahui bahwa" dari "mengetahui bagaimana"), isu tentang iman (keyakinan) dan akal budi, serta status kepastian, keraguan, dan skeptisisme (Branches of Philosophy - Philosophy - Research Guides at Saint Francis University, 2007).
Dalam kajian Filsafat Ilmu Keislaman, pendekatan epistemologis ditujukan untuk menganalisis, di antaranya: Apa sumber-sumber penyusunan ilmu keislaman; Bagaimana proses pembentukan ilmu keislaman dimaksud; Bagaimana corak metode dan struktur keilmuannya; Bagaimana validitas keilmuannya; dan Bagaimana hakikatnya.
Contoh, Ilmu Fiqh. Pendekatan epistemologi akan melihat apa sumber-sumber penyusunan Ilmu Fiqh; Bagaimana proses terbentuknya Ilmu Fiqh; Apa faktor-faktor sosio-historis yang mempengaruhi pembentukannya; Bagaimana corak dan struktur Ilmu Fiqh; Bagaimana validitas keilmuannya; dan Bagaimana hakikatnya.
Berdasarkan kajian epistemologis akan tampak bahwa sumber-sumber penyusunan Ilmu Fiqh selain Al-Qur`an dan Hadits, juga filsafat keilmuan dan empiri (dalam hal ini: problem sosial aktual pada masa itu). Filsafat keilmuan berfungsi dalam membentuk kerangka dan struktur ilmu fiqh. Tanpa filsafat keilmuan yang berkembang pada masa itu, maka ulama/ilmuan tidak akan memiliki konsep dan kerangka pikir dalam menyusun bangunan ilmu fiqh yang diperlukan, demikian pula —tanpa filsafat keilmuan— maka seorang pengkaji juga tidak memiliki sistem penjaminan keabsahan/validitas keilmuan. Sementara sumber empiri (problem sosial aktual), menjadi latar berpikir yang mempengaruhi seorang ulama/ilmuan ketika merumuskan topik dan tema keilmuan Fiqh yang dibutuhkan ummat dan masyarakat pada masanya.
Analisis Perspektif Aksiologis
Aksiologi, berasal dari bahasa Yunani Kuno (Greek) yaitu dari kata “axios” artinya “worthy” (berguna, patut, layak) dan “logos” artinya “science” (ilmu). Aksiologi disebut juga theory of value (teori nilai). Menurut istilah, aksiologi adalah the philosophical study of goodness, or value, in the widest sense of these terms. Its significance lies (1) in the considerable expansion that it has given to the meaning of the term value and (2) in the unification that it has provided for the study of a variety of questions—economic, moral, aesthetic, and even logical—that had often been considered in relative isolation (Singer, 2025) (kajian filsafat tentang kebaikan, atau nilai, dalam arti yang lebih luas dari istilah-istilah ini. Maknanya terletak pada (1) pemaknaan yang lebih luas yang telah diberikan pada makna istilah nilai dan (2) penyatuan yang telah disediakannya untuk studi tentang berbagai pertanyaan—ekonomi, moral, estetika, dan bahkan logika—yang sering dianggap dalam isolasi relatif).
Dalam kajian ilmu keislaman, perspektif aksiologi membawa pengkaji kepada analisis filsafat tentang nilai, manfaat dan tujuan ideal-esensial suatu kajian bagi manusia dan kemanusiaan. Dalam ruang maqashid asy-syariah (tujuan-tujuan asasi syariah), perspektif ini akan mempertajam analisis tentang tujuan-tujuan asasi dan esensial dari kajian yang dilakukan. Apakah tujuan-tujuan asasi dan bersifat esensial dari kajian keislaman yang dilakukan benar-benar menyahuti tujuan-tujuan tertinggi dari Islam itu sendiri.
Sebagai contoh, fiqh mawaris. Di antara pertanyaan yang patut diajukan, apakah rumusan fiqh mawaris sudah benar-benar menjawab cita ideal-moral Al-Quran tentang pembagian warisan? Apakah rumusannya benar-benar bersifat adil atau paling baik maslahatnya kepada masing-masing ahli waris? Apakah rumusan Fiqh Mawaris dimaksud tidak bias gender kepada perempuan? Jika rumusannya benar-benar bersifat adil, dan paling maslahat dalam ruang dan waktu tertentu maka tujuan dari kajian fiqh mawaris itu dapat dipandang tercapai. Jika tidak, maka secara aksiologis rumusan dimaksud masih memerlukan penyempurnaan. Di sisi lain, pertanyaan aksiologis yang perlu diajukan dalam kajian Islam, misalnya dalam kajian ilmu fiqh pada umumnya, apakah kajian yang dilakukan bertujuan untuk hanya sekedar capaian nilai/status hukum normatif (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram), atau lebih tinggi dari itu yaitu tujuan nilai etika-moral yang dikehendaki Al-Quran seperti keadilan, kemaslahatan, persamaan dan sebagainya.
Operasionalisasi Kajian
Dalam kelas Filsafat Ilmu Keislaman, misalkan doesn dan mahasiswa mendiskusikan topik “Fazlur Rahman: Teori Double Movement” (Nugroho et al., 2023, #257-289). Untuk mendapatkan analisis kefilsafatan yang dalam, maka penting mendiskusikan bebarapa pertanyaan pokok berikut: Pertama, bagaimana pandangan ontologis Rahman tentang hakikat sumber-sumber ilmu keislaman (seperti hakikat wahyu, hakikat sunnah, posisi akal terhadap wahyu, hakikat empiri, hakikat ilham/intuisi, dll) dalam menyusun teori double movement. Dalam kaitan teori double movement ini, bagimana pula pandangan ontologis Rahman terhadap turats berikut metodologi keislaman klasik yang menjadi penyangganya; Bagaimana pandangan Rahman terhadap kondisi sosial, politik dan intelektual umat Islam; dan seterusnya? Kedua, bagaimana pandangan epistemologis Rahman tentang sumber-sumber keilmuan, prosedur keilmuan, metode dan pendekatan keilmuan, sampai kepada validitas dan hakikat keilmuan dalam banguna teori double movement. Ketiga, bagaimana pandangan aksiologis Rahman tentang nilai akhir dari teori yang dihasilkan. Apakah benar-benar menjawab cita-ideal moral Al-Qur`an, atau apakah memenuhi kriteria ahsanul maslahah (maslahah terbaik) bagi umat manusia.
Tiga bagian pertanyaan pokok itu mesti muncul dalam analisis-kritis di kelas Filsafat Ilmu Keislaman. Dari ketiga pertanyaan pokok itu akan dapat diketahui mengapa seorang pemikir mengeritik dengan keras metodologi keilmuan klasik, sikap keilmuan dan intelektual ummat masa kini, dan tawaran metodologi pemikiran/kajian baru, dan selanjutnya teori kajian baru. Sekaligus dari pertanyaan-pertanyaan itu, dosen dan mahasiswa dapat mengkritisi relevansi filsafat, paradigma dan metodologi keilmuan yang diabstraksikan oleh seorang pemikir Muslim seperti Rahman dengan kebutuhan kekinian. Dalam dialektika keilmuan yang terbangun di ruang kelas ini, terbuka bagi dosen dan mahasiswa melahirkan sintesis pemikiran baru atau bahkan teori baru.
KESIMPULAN
Perkembangan kajian ilmu keislaman di era kontemporer telah membentuk kluster baru kajian Islam yang jauh lebih menantang dari masa-masa sebelumnya, yaitu kluster Dirasah Islamiyah (Islamic Studies). Kluster ini menghendaki penerapan pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner dengan melibatkan metodologi filsafat dan ilmu sosial modern. Dalam pembacaan terhadap teks-teks sumber keilmuan (Al-Qur`an, Hadits, dan kitab turats) pengkaji dituntut menerapkan nalar epistemologis bayani, burhani, dan ‘irfani yang dibantu dengan pendekatan hermeneutika. Tantangan kajian keislaman yang baru ini akan sulit mencapai keberhasilan —untuk tidak mengatakan “gagal”--- jika para pengkaji tidak menguatkan kompetensi filsafat keilmuan khususnya Filsafat Ilmu Keislaman. Mereka yang menutup diri dari analisis filsafat keilmuan dalam kajian Islam “Dirasah Islamiyah”, akan terbenam dalam ruang kajian keislaman yang memfosil, tertutup, dan jumud, suatu raung keilmuan yang telah kehilangan relevansi dengan kekinian dan kedisinian ummat manusia. Sebaliknya mereka yang dengan serius dan terlatih menerapkan analisis kefilsafatan serta terlibat intens dalam dialektika kajian ilmu-ilmu keislaman, maka jalan untuk merumuskan sintesis pemikiran baru atau bahkan teori baru terbuka dengan lebar. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. A. (2006). Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (III ed.). Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. A. (2020). Multidisiplin, Interdisiplin, & Transdisiplin: Metode Studi Agama & Studi Islam di Era Kontemporer (I ed.). IB Pustaka PT Litera Cahaya Bangsa.
Afriandi, B., Bumi, H. R., Kamal, T., Hakim, R., Hanafi, H., & Julhadi, J. (2024). Objek-bbjek Kajian Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi) dan Urgensinya dalam Kajian Keislaman. JKPU: Jurnal Kajian dan Pengembangan Umat, 7 No. 1. https://doi.org/10.31869/jkpu.v7i1.5524
Branches of Philosophy - Philosophy - Research Guides at Saint Francis University. (2007, June 4). Research Guides. Retrieved May 29, 2025, from https://libguides.francis.edu/c.php?g=182116&p=1199480#s-lg-box-4095079
Cambridge Free English Dictionary and Thesaurus. (2025, May 26). Cambridge Dictionary. Retrieved May 29, 2025, from https://dictionary.cambridge.org/dictionary/
Epistemology | Definition, History, Types, Examples, Philosophers, & Facts. (n.d.). Britannica. Retrieved May 29, 2025, from https://www.britannica.com/topic/epistemology
Floridi, L. (2003). Blackwell Gide to the Philosophy Computing and Information. Oxford Blackwell.
Keane, M., & Phipps, S. (n.d.). Philosophy definition and meaning | Collins English Dictionary. Collins Dictionary. Retrieved May 29, 2025, from https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/philosophy
Kurniawan, B. (2015). Studi Islam dengan Pendekatan Filosofis. Saintifika Islamica: Jurnal Kajian Keislaman, 2 (02), 49-60.
Mukhtar et al. (2022). Kontroversi Kesarjanaan Al-Qur`an Kontemporer. Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, 8 (2), 141-158.
Nugroho, K., Kiram, M. Z., & Andriawan, D. (2023, December Universitas Muhammadiyah Surakarta). The Influence of Hermeneutics in Double Movement Theory (Critical Analysis Of Fazlurrahman's Interpretation Methodology). QIST Journal of Quran and Tafseer Studies, 2 No. 3, 275-289. https://doi.org/10.23917/qist.v2i3.2531
Shaifuddin, A., Nafi'i, W., & Huda, M. M. (2022). Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam. ejournal.kopertais4.or.id. Retrieved Mei Jumat, 2025, from https://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/elwahdah/article/view/4867
Singer, P. (2025, April 21). Axiology | Ethics, Morality & Value Theory. Britannica. Retrieved May 29, 2025, from https://www.britannica.com/topic/axiology
Steup, M., & Neta, R. (2005, December 14). Epistemology (Stanford Encyclopedia of Philosophy). Stanford Encyclopedia of Philosophy. Retrieved May 29, 2025, from https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/
0 comments: