SAAT ENGKAU SHALAT SAMBUNGKAN HATIMU KEPADA ALLAH, BUANG KESOMBONGAN YANG BERSARANG DI DALAMNYA, LALU BERDOALAH DENGAN LEMBUT, NISCAYA ALLAH MENDENGARKANMU




“Jika engkau tidak mampu melihat shalat hingga ke aspek terdalam (aspek batiniah shalat), maka sesungguhnya engkau belum paham apa itu shalat. Boleh jadi, ibarat menghadiri jamuan dari Allah, maka yang hadir dalam jamuan itu hanya badanmu saja, sementara batinmu ada di tempat lain.” Demikian potongan nasehat seorang ustad kepada jama’ahnya.

 Bagian paling penting (esensial) dari ibadah shalat bukanlah persoalan-persoalan pisik-lahiriah seperti  apakah kita berpakaian jubah, serban, baju koko dan isbal (pakaian menjulur menutup mata kaki) atau tidak isbal. Atau apakah jenggot dan kumis kita panjang atau pendek. Justru yang paling esensial dari ibadah shalat adalah apakah dalam shalat hati kita tunduk kepada Allah dan tersambung kepada-Nya. Meskipun seseorang mempersepsi cara berpakaian dan tampilannya telah benar-benar sesuai Sunnah, tetapi jika hatinya tidak tunduk, tidak merendah dan tidak tersambung kepada Allah, maka Allah tidak akan mendengar do’a-doanya. Dan boleh jadi Allah tidak akan memandangnya sebagai orang yang beribadah di hadapan-Nya. Mengapa demikian? Karena secara hakiki, sesungguhnya ia masih terjebak pada kesombongan dan keangkuhan dirinya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Ingatlah peringatan Nabi kita dalam Sahih Muslim yang terjemahnya sbb.: “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim).

 Oleh karena itu, di sepanjang perjalanan shalat, mulai dari berdiri (takbiratul ihram, do’a iftitah, al-Fatihah, ayat Al-Qur`an), rukuk, i’tidal, sujud, duduk antara dua sujud, sujud kembali, hingga tahiyyat dan salam, hendaklah kita bersikap rendah hati (tadharru’), berlemah lembut (khifah), khawatir/takut (khauf), penuh harap (thama’) sambil berupaya menyambungkan hati (hudhurul qalbi/khusyu’) kepada Allahu Rabbul ‘alamain.

 Sikap tadharru’, khifah, khauf, thama’ dan khusyu’ ini tidak akan terwujud jika kita tidak berhasil merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Allah Yang Maha Besar dan Maha Agung. Hal ini bermakna, kita mesti membuang berbagai atribut kesombongan kita sebelum kita berdiri menghadap Allah SWT. Di antara atribut kesombongan itu: perasaan paling benar, paling sunnah, paling berilmu, paling kaya, paling sehat, paling ganteng/cantik dan lain sebagainya.

Selanjutnya, jika kita telah berhasil membuang atribut-atribut kesombongan itu, maka berdirilah di atas sajadah, lalu ucapkanlah bacaan-bacaan shalat dengan lembut, rasa takut dan penuh harap, serta berusahalah menyambungkan hati kepada Allah di sepanjang shalat. Ingatlah bahwa kita sedang berada dalam “jamuan ruhaniah” dari Allah SWT. Kita berzikir dan berdo’a kepada-Nya di sepanjang shalat kita. Terhadap berbagai gangguan yang muncul berupayalah menepisnya semampu kita masing-masing. Jika kita berhasil melakukannya, maka kita akan merasakan nikmat shalat yang tiada tara. Di antaranya, jiwa-raga kita akan merasakan ketenangan, kedamaian dan kepasarahan yang hakiki, karena saat shalat kita berlepas diri dan mi’raj (naik) “meninggalkan” berbagai urusan keduniaan.

Sekembalinya dari “jamuan Allah” itu, tetaplah berendah hati dan tebarkan kedamaian (salam). Hal ini karena hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih itu jika mereka berjalan di muka bumi Allah ini, mereka berjalan dengan rendah hati. ("Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik ”. (Surat Al-Furqan ayat 63). Allahu a’lam.*****

Gambar: Baiti Jannati (Rumah keluarga kecilku di Perumahan Sidimpuan Indah Lestari, Jl. Usman Bin Affan/ Blok A No. 42, Palopat PK, Padangsidimpuan)

0 comments: