PENALARAN AGAMA PARA SAHABAT NABI BEDA DENGAN KITA
Dalam pemahaman agama (misalnya ibadah), para sahabat yang dibimbing Nabi Saw., memperlihatkan penalaran yang mementingkan esensi (inti/materi) dari pada formulasi (bentuk) pemahaman agama. Para salafush shalih ini menampilkan bentuk beragama yang hanifiyyatus samhah (semangat keberagamaan yang naluriah dan lapang) yang dilandasi etos sami'na wa atha'na. Sementara kita (kaum muslimin muta'akhkhirin) tampak lebih mementingkan bentuk atau formulasi, sehingga keberagamaan kaum muslimin ke dalam bangunan-bangunan mazhab keagamaan, yang kadang-kadang diperparah dengan paham keagamaan yang sempit. Penting digarisbawahi, dalam hal ibadah, pengetahuan tentang formulasi ibadah diakui sangat penting. Hanya saja jangan sampai mengabaikan aspek esensi. Karena nilai primer ibadah ada pada aspek esensi ibadah.
Penonjolan aspek formulasi dalam pemahaman ibadah ini terlihat dengan jelas di tengah kaum muslimin, misalnya dalam pemahaman dan pengamalan ibadah shalat. Dalam hal ibadah pokok ini, jika penalaran kaum muslimin muta'akhkhirin dikomparasikan dengan mode penalaran agama para sahabat Nabi, maka dapat disimpulkan demikian:
Penalaran para sahabat bebas dari kategori-kategori fiqh (syarat, rukun, mandub, wajib, sunnat, mubah, makruh, haram, dll.), sementara penalaran kaum muslimin muta'akhkhirin terformulasi dengan dengan batasan dan kategori-kategori hukum fiqh. Dampak yang timbul, sebagaimana pernah dikeluhkan oleh Waheeduddin Khan (ulama India abad ke-20), pemahaman ibadah kaum muslimin belakangan nyaris kehilangan makna batini karena lebih menonjolkan sisi form (bentuk) dibanding esensi (isi/inti). Sebagian mereka lalu memandang ibadah shalat yang dikerjakan sudah benar hanya karena syarat dan rukunnya terpenuhi, meskipun aspek esensial (seperti khusyuk, tadharru', khufyah, dll.) terabaikan. Lebih parah lagi, ada sementara kalangan yang memahami shalat seperti tertib gerakan olah raga. Pada yang terakhir ini, shalat tidak beda jauh dengan gerakan-gerakan fisik yang kosong makna.
Ada pula segmen kaum muslimin yang hanya berpuas diri terhadap formulasi ibadah yang ditradisikan. Mereka terdoktrin bahwa tradisi pemahaman dan pengamalan agama pada golongan merekalah yang benar. Pemahaman dan pengamalan yang berbeda, mereka pandang sebagai pemahaman yang menyimpang. Padahal, sesungguhnya tidak ada satu pun pemahaman atau pengamalan agama ---selain pemahaman dan pengamalan seorang Nabi/Rasul--- yang bebas dari kelemahan atau kekurangan.
Oleh karena demikian, maka siapa pun atau golongan manapun dari kaum muslimin tidak boleh mengajukan klaim bahwa hanya pemahaman atau pengamalan agamanya paling benar. Seseorang atau kelompok orang yang melakukan claim of truth pemahaman/ pengamalan agama (taqdis al-afkar ad-diniy), menurut Nurcholish Madjid sama saja dengan mengagungkan diri atau golongannya sendiri. Pengkudusan (pengangungan) selain Allah, apa pun bentuknya, adalah manifestasi kemusyrikan. Wallahu a'lam.
mabruk
ReplyDelete