PAHAM AGAMA MUHAMMADIYAH: IKHTIAR MENANGKAP KESAN DAN LATAR ALAMIAH KEBERAGAMAAN NABI SAW DAN PARA SAHABAT
Semangat dan motivasi pemahaman agama Muhammadiyah sejak kelahirannya diikhtiarkan untuk memperoleh pemahaman agama dengan mode dan corak sebagaimana yang ada dalam relung hati dan pikiran Nabi Saw dan para sahabat. Dengan ungkapan yang lebih berani yaitu "pemahaman agama yang dimaksudkan oleh Allah SWT." Pemahaman demikian inilah yang disebut pemahaman agama yang murni atau sadzajah (سذاجة).
*******
Tujuan artikel singkat ini adalah untuk mencoba menjelaskan mode dan corak paham agama yang diwariskan generasi awal Muhammadiyah yang berikhtiar menangkap inner perspective of Muhammad Saw., tentang Islam. Untuk menjawab tujuan artikel ini perlu mempertimbangkan pendekatan hermeneutika dan pendekatan sosio-historis (sosial-kesejarahan)---sebagaimana amanat manhaj tarjih dan tajdid--- dalam memahami bentuk dan esensi keberagamaan yang dibumikan oleh Nabi Saw di tanah Makkah dan Madinah pada abad ke-7.
Penerapan Hermeneutika untuk Menemukan Pemahaman Agama yang Murni (Sadzajah)
Para ahli hermeneutika mengamanatkan bahwa dalam memahami teks agama ---dalam konteks pembahasan artikel ini yakni Al-Quran, Hadits, serta Sejarah Nabi Saw dan sahabat--- agar mengintegrasikannya dengan pemahaman terhadap konteks sosial-historis yang melatari teks agama itu lahir/diucapkan atau dinarasikan. Selain pemahaman terhadap konteks, penting pula untuk memahami subjek/person (dapat juga dibaca: author) yang mengucapkan atau menarasikan teks itu. Dengan pemahaman integratif antara teks-konteks-author yang dipadu dengan pendekatan sosio-historis, maka diharapkan diperoleh pemahaman yang benar-benar natural tentang latar alamiah dan bentuk keberagamaan yang dibangun Nabi Saw dan para sahabat.
Penting dicatat bahwa pendekatan sosio-historis dalam kajian agama (dalam hal ini: pembacaan terhadap pembumian agama) akan memberi pemahaman berharga tentang proses-proses historis dan sosiologis "pendaratan" pesan-pesan agama yang dilakukan oleh Nabi Saw dan para sahabat. Dalam hal ini akan tampak dengan jelas bagaimana agama baru (Islam) berinteraksi dengan kehidupan sosial-kultural Arabia abad ke-7. Pertanyaan semisal, "Apakah Islam yang dibawa Nabi Saw datang dengan cara memberangus budaya Arab Jahiliyah atau membimbing dan mengarahkannya kepada adab dan budaya islami?" Dengan mudah diperoleh jawaban hwa Islam yang datang adalah Islam yang membimbing dan mengarahkan individu dan masyarakat Arab Jahiliyah kepada adab dan budaya islami.
Semangat dan motivasi pemahaman agama Muhammadiyah sejak kelahirannya diikhtiarkan untuk memperoleh pemahaman agama dengan mode dan corak sebagaimana yang ada dalam relung hati dan pikiran Nabi Saw dan para sahabat. Dengan ungkapan yang lebih berani yaitu "pemahaman agama yang dimaksudkan oleh Allah SWT." Pemahaman demikian inilah yang disebut pemahaman agama yang murni atau sadzajah (سذاجة). Suatu pemahaman agama yang diidealkan oleh generasi awal Muhammadiyah. Pemahaman agama yang murni (sadzajah) ini, pada tingkat filosofi, berlaku sebagai world view sekaligus sebagai paradigma pemikiran dan pemahaman keagamaan. World view ini, selanjutnya dijadikan titik berangkat dalam memahami segala objek juz'iyyat (partikular) dalam pemahaman dan pemikiran agama. Dengan berangkat dari world view ini, maka kita akan terbimbing dalam menalar hal-hal partikular (juz'iyyat) dalam agama, yaitu dalam hal merincinya, mengklasifikasinya, dan memverifikasinya. Mode pandangan keagamaan yang demikian ini tidak lagi dalam perspektif hitam-putih atau sunnah-bid'ah yang kaku dan ketat.
Harus diakui bahwa trend pemahaman dan pemikiran keagamaan di Muhammadiyah terformalisasi sebagaimana pemahaman Sunnah para ulama hadits yang mengategori kebenaran (validitas) hadits kepada shahih, hasan dan dha'if. Berpijak kepada kategori demikian ini, Muhammadiyah menegaskan bahwa hadits yang dapat dijadikan pijakan dalam beramal hanya hadits berkategori shahih dan hasan (as-sunnah al-maqbulah). Sementara hadits dha'if tidak dapat dijadikan dalil/hujjah dalam beragama, kecuali hadits dha'if dimaksud memiliki banyak jalur periwayatan. Dengan demikian, pemahaman dan pengamalan agama yang membudaya atau mentradisi akan dilihat dalam konteks pemikiran formal (tarjih dan tajdid) yang kategoris dan klasifikasial tersebut.
Meskipun hadits hasan (hadits yang secara sosiologis hidup dalam tradisi keagamaan muslim salaf yang disebut juga living hadith) masih dipandang absah sebagai pijakan, namun kategorisasi ini dalam batas tertentu mereduksi latar alamiah keagamaan ummat yang telah terbentuk. Akibatnya, ada hal-hal juz'iyyat (partikular) semisal amalan-amalan yang secara esensial bersifat islami dipandang oleh mayoritas warga Muhammadiyah akar rumput di Sumatera Utara sebagai bid'ah yang harus dihindari. Misalnya tambahan ucapan dzikir "al-'azhim" pada lafaz "Astaghfirullah" setelah salam shalat fardhu, tambahan "innaka la tukhliful mi'ad" pada doa setelah Azan, menyanyikan lirik-lirik tentang cinta Rasul atau shalawat dalam momen pengajian, mengucapkan zikir secara berjama'ah dalam pertemuan pengajian, do'a bersama dalam mengawali atau menutup suatu pertemuan, dan lainnya. Alasan pokok yang dikemukakan adalah bahwa amalan demikian itu tidak ada tuntunannya (lebih tepat dibaca: tuntunan tekstual atau formal) dalam As-Sunnah. Pertanyaan yang urgen dikemukakan: Apakah model dan corak beragama terformalisasi seperti ini yang dituntunkan, dibumikan, dan dikehendaki oleh Nabi Saw? Apakah para sahabat ---sebagai orang-orang yang dididik langsung oleh Nabi Saw--- beragama terformalisasi? Lebih rinci, apakah misalnya terlarang (bid'ah dhalalah) menambah lafaz dzikir dan do'a yang diajarkan Nabi Saw dalam kehidupan harian (di luar ibadah mahdhah), meskipun tambahan itu sesungguhnya terinspirasi dari lafaz Al-Qur`an seperti kasus tambahan "al-'azhim" untuk "Astaghfirullah" tadi? Seketat dan sedisiplin itukah keberagamaan yang dibumikan oleh Rasulullah Saw? Jawabannya membutuhkan analisis dan perenungan mendalam. Sementara ini, dengan ilmu yang teramat terbatas ---wallahu wa rasuluhu a'lam--- penulis berpendapat, bahwa jika kita benar-benar berangkat dari world view keagamaan yang sadzajah tadi, maka model dan corak beragama terformalisasi demikian belumlah benar-benar mencerminkan idealitas keberagamaan Rasulillah Saw dan para sahabat yang diridhai.
Autokritik penulis terhadap formalisme Tarjih dan Tajdid di kalangan warga Muhammadiyah ini terkadung maksud agar disadari dengan baik bahwa meskipun mode dan corak pemahaman keagamaan Tarjih dan Tajdid kita pandang terbaik untuk saat ini, tetap saja menyimpan kelemahan. Di sinilah mesti disadari bahwa tidak ada metodologi pemahaman dan pemikiran agama yang sempurna. Dalam hal metodologi ini pun, masing-masing golongan dari umat Islam mesti ber-fastabiqul khairat.
Marilah lebih lanjut kita masuk ke dalam proses historis-sosiologis Sunnah. Kita akan menemukan fleksibelitas pembumian Sunnah. Contoh-contoh fleksibelitas ini misalnya adanya praktik sejumlah sahabat yang melafazkan dzikir yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah, tapi masuk menjadi khazanah Sunnah yang mendapat pembenaran dari Rasulillah Saw. Penting dipahami bahwa makna esensial lafazh-lafazh yang bersumber dari sahabat dimaksud kelihatannya benar-benar tauhidiy. Nabi Saw menyatakan bahwa para malaikat menyukainya, dan Nabi sendiri pun tentu saja menyetujui dzikir dimaksud. Contoh untuk hal ini di antaranya bacaan doa iftitah "Allahu akbar kabira...", bacaan I'tidal "Rabbana lakal hamdu hamdan katsiran...", lafazh Adzan dan lainnya.
Di sisi lain patut direnungkan bahwa para sahabat memperlihatkan variasi pembahasaan (redaksional/teks) dalam periwayatan hadits. Wallahu a'lam, sangat mungkin dalam soal teks (redaksi) ada ruang yang relatif bebas (bersifat taqririyah) yang disediakan Nabi Saw., untuk berekspresi, tetapi dalam soal makna (esensi teks), mereka memiliki pemahaman dan i'tiqad qalbiyah yang sama. Hal demikian inilah yang memungkinkan terjadinya pelafazan sejumlah hadits di kalangan sahabat.
Kasus demikian ini bukanlah suatu kebetulan, dan tentu saja dapatlah disebut sebagai contoh nyata fleksibelitas pembumian Sunnah pada masa Rasulillah Saw. Atas dasar penjelasan demikian, maka mencontoh formalisme keilmuan agama dalam memahami Sunnah ---seperti pakem Ulum al-Hadits (khususnya ilmu sanad hadits) yang jadi inspirasi pakem Tarjih--- dalam pembumian agama tidak boleh dipandang final dan tetap perlu perenungan ulang untuk secara terus-menerus menyempurnakannya.
Tarjih Muhammadiyah dalam ibadah mahdhah memang sangat terpengaruh dengan pakem Ulum al-Hadits dimaksud. Namun, dalam bidang pemahaman fiqh ibadah, dokumen-dokumen Muhammadiyah memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh generasi pendahulu Muhammadiyah lebih menyukai penggunaan istilah "lebih rajih", "lebih kuat dalilnya" atau "lebih maslahat" dari pada menggunakan istilah Sunnah-bid'ah dalam menilai keabsahan pemahaman fiqh.
Oleh karena itu amat beralasan mengapa dalam dokumen-dokumen keagamaan fiqh Muhammadiyah tidak kita temukan konstruk berpikir Sunnah versus bid'ah. Pengkontradiksian Sunnah dan bid'ah ini lebih dominan ditemukan dalam penjelasan masalah-masalah akidah. Sekali lagi, dalam hal fiqh, generasi pendahulu Muhammadiyah tampaknya mengajak warga persyarikatan untuk ber-fastabiqul khairat saja dalam beramal. Ingat tuntunan dalam "Kitab Masalah Lima" yang menyatakan bahwa keputusan tarjih Muhammadiyah yang dihasilkan tidak untuk menyalahkan pandangan fiqh yang berbeda (duna ibthali ayyi ra'yin mukhalifin). Jadi para pendahulu Muhammadiyyah mengajari generasinya untuk menghindar dari sikap tatharruf (ekstrim) dalam memahami dan mengamalkan agama.
Mengambil 'Ibrah Pembumian Agama Masa Nabi Saw dan Para Sahabat
Jika kita berupaya memahami secara mendalam bagaimana Nabi Saw mendaratkan agama dalam pelataran hidup dan kehidupan masyarakat Makkah dan Madinah abad ke-7, maka akan ditemukan bahwa agama tauhid masuk ke tengah-tengah kehidupan kaum yang ummiy (masyarakat arus bawah) bagaikan air sejuk pelepas dahaga hingga kemudian membentuk world view mereka dalam melihat diri, masyarakat, lingkungan dan alam semesta. Sebaliknya, agama yang menyejukkan ini dipandang sebagai kekuatan destruktif (perusak) oleh kaum bangsawan jahiliyah.
Nabi Saw., dalam mendakwahkan dan mengajarkan agama, datang dengan pribadi penuh cinta, pengasih, penyayang, penyabar, pelindung, empatik, dekat, akrab, terbuka dan lapang. Beliau menyampaikan agama dengan hikmah dan mau'izhah hasanah (nasehat/pengajaran yang baik), melayani perdebatan dengan cara terbaik. Ketika seseorang mengadu kepada Nabi Saw., bahwa ia belum mampu shalat kecuali hanya dengan membaca Al-Fatihah, maka Nabi pun mengatakan kepadanya agar menjalankan shalat meskipun hanya dengan membaca Al-Fatihah. Anas bin Malik r.a., mengisahkan bahwa selama jadi pembantu (khadim) Nabi di Madinah, Rasulullah Saw., tidak pernah memarahi beliau meskipun Anas r.a., pernah bersengaja melanggar perintah beliau untuk membeli suatu keperluan ke pasar. Saat berkhutbah, Nabi Saw., pernah turun dari mimbar hanya untuk mengambil cucunya Hasan dan Husin dan membawanya ke mimbar. Nabi juga pernah turun dari mimbar khutbah karena ada suatu keperluan penting, kemudian naik mimbar lagi melanjutkan khutbahnya.
Jadi agama diajarkan tidak dalam kungkungan formalisme yang ketat, tetapi dalam kelapangan yang hanif.
Kata Penutup
Hemat penulis, semangat beragama demikian inilah yang diwarisi dan bersemi dalam relung hati dan alam pikiran generasi awal Muhammadiyah, yaitu semangat beragama yang lapang, toleran, dan syadzajah. Spirit dan semangat beragama demikian ini mesti terjaga dan terus terwariskan kepada generasi pelanjut gerakan Muhammadiyah hingga akhir zaman. Wallahu a'lam.
Gambar:
Foto bersama selepas Upacara Hari Guru di MTs Muhammadiyah 22 Kota Padangsidimpuan, 25 November 2024.
0 comments: