LUBUK KHAUF (RASA TAKUT) KETIKA MEMBACA AL-FATIHAH DALAM SHALAT

Sikap yang dituntut dalam berdoa atau berdzikir saat shalat atau di luar shalat, tidak saja tadharru' (rendah hati), khufyah (suara yang lembut), dan thama'/raghab (penuh harap), tetapi juga khauf  atau rahab (rasa takut).

Dalam shalat ada beberapa tempat (lokus) yang secara khusus terkait dengan sikap khauf, yaitu saat membaca Al-Fatihah, saat doa Iftitah (jika doanya Allahumma ba'id), saat doa rukuk (jika doanya subhanakallahumma rabbana...), saat doa sujud (jika doanya subhanakallahumma rabbana...), saat doa duduk antara dua sujud, dan saat doa di ujung tahiyyat (jika doanya Allahumma inni a'udzubika min 'adzabi jahannam...).


Lubuk Khauf dalam Al-Fatihah

Lubuk khauf dalam Al-Fatihah ada di dua tempat, pertama, ketika seorang hamba membaca "Maliki yaumiddin" (artinya: Penguasa Hari Pembalasan) dan kedua saat membaca "ghairil maghdhubi 'alaihim waladhdhallin" (bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat). 

Sebelum sampai ke lubuk khauf yang pertama surat Al-Fatihah ini, terlebih dahulu seorang hamba membaca tahmid (Alhamdulillahi rabbil 'alamin. Ar-rahmanirrahim). Dua lafaz tahmid (pujian) ini mengantarkan hamba ke lubuk syukur (lubuk kesadaran qalbiyah (kalbu) terhadap curahan rahmat atau kasih-sayang Allah yang tiada terhingga kepada manusia). Di titik ini hamba mengakui betapa sayangnya Allah kepada manusia. Kesadaran syukur ini selanjutnya menginsafkan hamba tentang betapa masih sedikit dan masih rendahnya kualitas ketaatan/kepatuhan hamba kepada Allah sebagai perwujudan syukur atas nikmat dan rahmat Allah yang amat sangat besar.

Setelah hamba menyelam di lubuk syukur, selanjutnya menyelam di lubuk khauf dengan melafazkan "Malikiyaumiddin" (Penguasa Hari Pembalasan). Di lubuk ini, seorang hamba menyelamkan kesadaran qalbiyah berupa rasa khauf terhadap kedahsyatan huru-hara Kiamat dimana penguasa tunggalnya hanya Allah Rabb al-Azizi dzun tiqam (Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Agung lagi Mempunyai Balasan [siksa]). Ketika seorang hamba mengucapkan lafaz ini seketika itu pula mata hatinya melihat dahsyatnya Hari Kiamat. Hari dimana tidak ada seorang pun yang berani berdiri tegak lurus membusungkan dada. Semuanya berdiri dengan menundukkan kepala sebagai ekspresi kekhawatiran dan ketakutan nasib masing-masing di hadapan Qadhi Rabbul Jalil, Allah SWT (Lihat misalnya QS As-Sajdah: 12). Inilah Hari dimana setiap hamba akan menjalani hisab (perhitungan), mizan (timbangan) dan din (pembalasan) yang adil seluruh amal baik dan buruknya selama hidup di dunia. Hari ketika tidak ada lagi transaksi, persahabatan, dan syafaat (pertolongan) (Lihat QS Al-Baqarah: 254) dan Hari ketika tidak ada seorang pun yang yang berani mendustakannya (QS As-Sajdah: 12; Yasin: 52). 

Di bertopang kesadaran akhirat, hisabmizan, dan din ini, seorang hamba selanjutnya melafazkan ikrar di hadapan Allah, "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).

Lubuk khauf  yang kedua adalah saat hamba mengucapkan "ghairil maghdhubi 'alaihim waladhdhallin". Dalam hadits dan disebutkan juga sebagai pendapat banyak ahli Tafsir bahwa orang-orang yang dimurkai (al-maghdhub) adalah orang-orang Yahudi, sementara orang-orang yang sesat (adh-dhallin) yaitu kaum Nasrani. Al-Qur`an menjelaskan bahwa kedua kaum ini adalah kaum yang bebal dan keras kepala sejak awal kemunculannya hingga Al-Qur`an merespon kebebalan Yahudi dan Nasrani saat wahyu terakhir ini turun. Karakteristik keras kepala dan bebal ini tampaknya terwariskan hingga sekarang (Renungkan QS Al-Maidah: 64). Kaum ini disebut juga ahlul kitab (ahli kitab). Kaum yang ---sebagian besar dari mereka--- menolak kenabian dan kerasulan Muhammad Saw., meskipun sebenarnya pemimpin-pemimpin (imam-imam) mereka tahu bahwa beliau benar-benar Nabi dan Rasul utusan Allah. Terkait Yahudi, kaum yang banyak dijelaskan dalam Al-Qur`an, kebebebalannya dan kekeraskepalaannya melebihi kaum Nasrani. Kepada kaum ini berkali-kali diberikan pengampunan dan berkali-kali pula diberikan bukti-bukti empirik tentang Kemahakuasaan Tuhan, tetapi tetap saja mereka membandel untuk menerima akidah tauhid. Allah SWT kemudian menyebut kaum ini sebagai kaum yang dimurkai (al-maghdhub).

Seorang mushalli (hamba yang shalat) mesti menghunjamkan rasa khauf-nya kepada Allah saat mengucapkan lafaz "ghairil maghdhubi 'alaihim waladhdhallin". Semoga kita terjauh dari cara hidup dan karakter kepribadian yang dimurkai dan sesat. Cara hidup dan karakter pribadi yang merugi dan celaka di dunia dan akhirat. Wallahu a'lam bi al-shawwab.

Gambar:
Penulis bersama Rektor Univ. Graha Nusantara Padangsidimpuan saat menghadiri Sidang Paripurna DPRD Kota Padangsidimpuan dalam rangka Memperingati HUT Pemko Padangsidimpuan 16 Oktober 2024.

0 comments: