AL-FATIHAH: APA KANDUNGANNYA SEHINGGA WAJIB DIBACA SETIAP RAKAAT DALAM SHALAT?
Tentu saja ada maksud khusus mengapa Allah SWT menempatkan surat Al-Fatihah sebagai surat yang wajib dibaca setiap kali berdiri dalam shalat. Rasulullah Saw., sendiri meminta perhatian para sahabat agar jangan sampai melewatkan bacaan Al-Fatihah ketika shalat. Bahkan saat masbuq pun, seseorang mesti membaca al-Fatihah ketia ia mendapati imam sudah membaca surah. Bahkan Nabi Saw., menyatakan, "La shalata liman lam yaqra` bi fatihatil kitab" (Tidak sah/sempurna shalat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah).
Al-Fatihah adalah Ummul Qur`an (induk Al-Qur`an) yang disebut juga sab'u al-matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang). Para ulama menyebut bahwa surat yang amat penting ini berisi esensi dari keseluruhan ayat-ayat Al-Qur`an yang berjumlah kurang lebih 6236 ayat. Tentang awal surat ini ada perbedaan pendapat. Ada yang menyatakan bahwa surat ini dimulai dari bismillah, sementara yang lain berpendapat dimulai dari alhamdulillah. Suatu hal yang jelas bahwa Al-Fatihah berisi pokok-pokok kandungan surat-surat lainnya. Oleh karena itu, jika dilihat secara deduktif, maka surat-surat lain merupakan rincian (juz`iyyat) dari Al-Fatihah.
Pandangan dan pengamalan yang masyhur di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah, membaca surat al-Fatihah dalam shalat dimulai dari alhamdulillah. Hal ini mengikuti Putusan Tarjih lama. Dalam Putusan Tarjih yang baru, dibolehkan membaca bismillah dengan jahar pada al-Fatihah. Pandangan terakhir ini belum masyhur di lingkungan Muhammadiyah. Dari sudut pandang ini, maka Muhammadiyah telah mengakomodasi pandangan bahwa Al-Fatihah dapat (masyru') dimulai dari alhamdulillah, atau dimulai dari bismillah.
Sementara di lingkungan Nahdlatul Ulama sejak dulu, pandangan dan pengamalan yang masyhur yakni al-Fatihah dimulai dari bismillah. Itulah sebabnya imam shalat di jam'iyyah ini selalu menjaharkan basmalah dalam setiap shalat fardhu jahar. Dengan demikian, di kalangan Nahdliyyin, basmalah bagian dari surat al-Fatihah, yakni ayat pertama ummul kitab ini.
Setiap orang yang shalat mesti membaca Al-Fatihah ini dengan tadharru' (rendah hati), khufyah (lembut), khauf (rasa takut), dan thama'/raja` (penuh harap) sebagaimana bacaan shalat lainnya.
Bismillahirrahmanirrahim. (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Rahman bermakna sangat pengasih. Pengasih yang tanpa batas. Ar-Rahman adalah nama Allah. Tak ada satupun makhluk yang dapat menandingi Kepengasihan Allah. Kepengasihan Allah tanpa pamrih. Kasih-Nya kepada makhluknya, terutama manusia tetap mengalir meskipun makhluknya berbuat syirik dan engkar kepada-Nya. Allah Maha Menepati Janji untuk megasihi semua makhluk-Nya. Rahim bermakna sangat Penyayang atau Maha Penyayang. Ar-Rahim adalah salah satu nama Allah yang indah. Allah menyayangi hamba yang taat kepada-Nya jauh melebihi apa yang dibayangkan oleh seorang hamba. Bahkan sayang Allah kepada hamba yang dicintai-Nya tak akan mampu dilukiskan dengan pena dan tak akan tergambarkan dengan perasaan hati setiap insan. Dalam konteks pemaknaan demikianlah, seorang hamba mengucapkan bismillah dalam shalat dan saat memulai pekerjaan di luar shalat.
Selanjutnya, Alhamdulillahi rabbil 'alamin. Segala puji bagi Allah, rabb semesta alam. Al-hamdu juga bermakna asy-syukru (syukur, terima kasih) atau ats-tsana`u (pujian). Kita memuji Allah karena hati kita bersyukur (berterima kasih) kepada-Nya atas penciptaan makhluk-Nya (termasuk diri kita), kasih-sayang-Nya, penjagaan-Nya, pengasuhan-Nya, pembimbingan-Nya, perlindungan-Nya dan pemeliharaan-Nya yang tiada tandingan-Nya. Kita menerima rahman dan rahim-Nya yang tiada terhingga. Dia menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi dengan menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi kepada manusia sebagai rahmat dari-Nya (QS 45: 13). Oleh karena itu, kita amat sangat pantas untuk bersyukur kepada-Nya dengan mengucapkan Al-hamdulillahi rabbil 'alamin. Pada saat seorang hamba mengucapkan alhamdulillahi rabbil 'alamin dalam shalatnya, maka Allah akan menjawab, "hamidaniy 'abdi"* (حمدني عبدي -hambaku memujiku).
Kemudian, kita perdalam rasa syukur kita dengan menyebut nama-Nya yang indah "ar-rahmanirrahim". (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Sampai di ayat ini kita diberi pemahaman bahwa Allah pemilik segala pujian itu adalah Rabb (Tuhan kita dan Tuhan alam semesta), juga ar-Rahman dan ar-Rahim. Di sini kita semakin paham bahwa Allah SWT sangat mengasihi, menyayangi, dan mencintai hamba-hamba-Nya. Dia memenuhi seluruh kebutuhan kita. Dia melindungi dan merangkul saat kita dalam derita dan bahaya. Dengan Kemahalembutannya, Dia menyelimuti jiwa kita yang menderita. Dia tidak akan membiarkan hamba-Nya mememikul beban di luar batas kemampuan. Ketika seorang hamba melafazkan arrahman arrahim, maka Allah menjawab "atsna 'alaiyya" (اثنى علي-hambaku menyanjungku).
Setelah melafazkan arrahman arrahim, selanjutnya adalah "maliki yaumiddin" (Penguasa Hari Pembalasan). Hamba yang mengucapkan "maliki yaumiddin" dalam shalatnya, maka Allah akan merespon ucapannya dengan majjadaniy 'abdiy (مجدني عبدي -hambaku memuliakanku). Di sini, dari hati syukur yang menghunjam, muncul khauf (takut) kepada siksanya, dan thama'/raja` (harap) kepada rahmat-Nya sebagai Pemilik/Penguasa Yaum ad-Din (Yaumil Qiyamah) dengan mengucapkan "maliki yaumiddin" dengan tadharru' (rendah hati) dan khufyah (rasa takut). Pada Hari itu, tida perlindungan selain perlindungan-Nya. Tidak ada syafa'at (pertolongan) selain syafa'at dari-Nya. Keselamatan hanya ada di tangan-Nya. Dia akan benar-benar menepati janji-Nya untuk memberi balasan surga atau neraka. Beruntunglah nasib manusia yang menadapat maghfiroh (ampunan) dan rahmah (kasih sayang)-Nya. Celakalah orang yang mendapat laknat dan murka-Nya.
Dari lubuk kesadaran khauf dan thama' (raja`) ini, selanjutnya seorang hamba menyatakan janji kepada Allah, "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" (Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).Terhadap ucapan janji ini, Allah menjawab "Hadza bainiy wa baina 'abdiy wa li'abdiy ma sa`ala" (هذا بيني وبين عبدي ولعبدي ماسءل-Ini antara Aku dan hambaku, dan hambaku memperoleh apa yang dimintanya). Dari sisi kebahasaan, seolah-olah hamba sedang menghadap kepada Allah Rabb al-'Arsy al-'Azhim (Tuhan 'Arsy yang Agung). Lalu dihadapan-Nya, hamba yang penuh dosa dalam tobatnya berikrar untuk menyembah (beribadah) hanya kepada-Nya dan memohon pertolongan juga hanya kepada-Nya. Iyyaka na'budu, juga bermakna hanya kepada-Mu kami tunduk, patuh, taat, dan berserah diri. Hal ini dapat pula dimaknai bahwa setiap hamba ikhlas menjalankan agama (mukhlisina lahuddin) dan istiqamah di jalan Allah hingga akhir hayatnya.
"...wa iyyaka nasta'in". Dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Sebagai konsistensi janji/ikrar hanya menyembah Allah, maka selanjutnya meminta tolong pun hanya kepada Allah. Di sini seorang hamba menegaskan janjinya bahwa ia tidak akan bergantung kepada makhluk. Ia hanya bergantung kepada Allah dalam segala keadaan. Ada pun permintaan tolong kepada manusia hanya sebatas memohon agar manusia berela hati membagi apa yang diberikan Allah kepadanya. Tidak lebih dari itu. Dalam meminta kepada manusia, ia tidak akan menurunkan derajad kemanusiaannya hingga ia lebih rendah dari orang yang menolong. Sebab jika ia menghinakan dirinya terhadap orang yang memberi bantuan, maka secara hakiki ia telah menghambakan diri kepada orang dimaksud. Hamba yang taat kepada Allah tidak akan menghinakan diri kepada manusia, bagaimana pun keadaannya. Di kalangan muqarrabin, "wa iyyaka nasta'in" ini dipahami sebagai puncak tawakkal kepada Allah. Ia telah menyerahkan diri dan urusannya kepada Allah. Akhirnya ia ridha apa pun ketentuan Allah kepada diri dan keluarganya.
Dengan istiqamah pada janji "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in", maka selanjutnya hamba bermohon kepada Allah: Ihdinashshirathal mustaqim. (Tunjukilah kami ke jalan yang lurus). Do'a ini sesungguhnya permohonan hamba kepada Allah agar semakin teguh memegang dan memenuhi janji hanya menyembah Allah dan hanya memohon pertolongan kepada Allah. Manusia adalah makhluk yang lemah. Ia harus sadar diri bahwa tanpa bantuan Allah ia tidak akan mampu istiqamah di jalan yang lurus (ad-din al-qayyim). Setan sangat licik, lihai dan konsisten dengan bisikannya untuk menyesatkan keburukan ke dalam dada manusia. Setan bisa menyapu kesadaran kita kepada Tuhan sebagaimana gelombang elektro magnetik menyapu suatu lintasan listrik.
Jalan lurus yang kita mohonkan petunjuk Allah adalah jalan realistis yang telah ditempuh oleh hamba-hamba Allah yang memperoleh nikmat hasanah dari Allah yaitu para Nabi, syuhada`, dan shalihin. Jadi di bagian ini kita bermohon kepada Allah agar memperoleh petunjuk (hidayah) mengikuti jalan lurus (shirath al-mustaqim) generasi kaum beriman terdahulu. Dalam rangkaian doa selanjutnya, "shirathalladzina an'amta 'alaihim, ghairil maghdhubi 'alaihim, waladhdhallin" (yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat). Hamba yang mengucapkan lafaz ini, Allah akan menjawab "هذا لعبدي ولعبدي ما سءل-Hadza li'abdiy, wa li'abdiy ma sa`ala" (Ini untuk hamba-Ku, dan hambaku memperoleh apa yang dimintanya). Di fase ini kita benar-benar mengharap agar Allah menjauhkan kita dari jalan yang dimurkai Allah dan jalan orang-orang yang sesat, yaitu jalan hidup para penentang Allah dari golongan musyrikin, kafirin, dan fasiqin serta jalan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Golongan ini menempuh sabilith thaghut (jalan taghut/penentang Allah). Sebagai bentuk konsistensi tanggung jawab Allah kepada manusia, maka Allah-pun mengabadikan dalam Al-Quran sebagian tokoh-tokoh yang menempuh jalan thaghut ini, antara lain Qabil, Namruz, Firaun, Samiri, Jalut dan Abu Lahab. Dengan cara demikian, tidak ada lagi celah bagi manusia untuk berkata, "Kami tidak diberitahu tentang keburukan jalan orang-orang yang dimurkai dan jalan orang-orang yang sesat."
Al-Fatihah, dengan demikian merangkai makna-makna pokok yang menjadi petunjuk agung bagi manusia. Dimulai dari asas utama agama yakni tauhid. Nilai tauhid di sini tersimpul dalam tahmid (pujian, kesadaran akan kebutuhan dan kebergantungan mutlak manusia kepada Allah), selanjutnya kesadaran tentang Allah sebagai penguasa pada Hari Pembalasan (Yaumiddin). Seterusnya tentang ibadah (penghambaan) dan isti'anah (sikap hidup hamba dalam menjalani hidup dan kehidupannya yang menjadikan Allah tempat bergantung), diakhiri dengan permohonan agar Allah senantiasa menunjuki hamba di jalan yang lurus (sabilillah) dan menghindarkan hamba dari sabiliththaghut (jalan thaghut). Insya Allah dengan petunjuk Al-Fatihah ini, hamba beriman akan memperoleh hidup yang hasanah fiddunya wa hasanah fil akhirah. Allahu a'lam.
Catatan kaki:
*Semua penjelasan tentang jawaban Allah terhadap ucapan hamba pada Al-Fatihah didasarkan kepada Hadits Riwayat Muslim No. 598.
Pohon hijau di belakang LP2M UIN Syahada Padangsidimpuan 25 Juni 2024.
0 comments: