MAU'IZHAH HASANAH DALAM BERDAKWAH: PESAN KEPADA SAUDARA-SAUDARAKU BER-MANHAJ SALAF DI PADANGSIDIMPUAN
Dalam hal-hal tertentu, saya setuju dengan pandangan salah satu golongan umat Islam di Padangsidimpuan yang menyebut kelompok mereka ber-manhaj salaf (dapat dibaca: kelompok "Salafiy") bahwa umat Islam ---dalam beragama, khususnya dalam hal pengamalan ibadah mahdhah--- mesti meneladani Rasulullah Saw., dan para sahabat. Hanya saja, menurutku dalam konteks meneladani sunnah Rasulillah Saw., ada beberapa poin krusial yang menjadi perbedaan pandangan dengan mereka. Poin-poin dimaksud penting menjadi diskusi bersama. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, pandangan tentang organisasi. Kelihatannya mereka memandang ormas Islam semisal Muhammadiyah, NU, Al-Washliyah, Perti, dan lainnya sebagai firqah (golongan) dalam agama yang harus dijauhi. Bahkan ada di antara mereka yang menyebut Muhammadiyah, NU, dan lainnya sebagai firqah dhallah (firqah yang sesat). Secara umum mereka memiliki pandangan bahwa umat Islam tidak semestinya bereksistensi atau mengorganisir diri pada golongan-golongan tertentu, karena menurut mereka Al-Qur'an mengajarkan bahwa umat Islam tidak boleh ber-firqah-firqah (Wa'tashimu bihablillahi jami'a wala tafaaraqu, "Artinya: Dan berpegang-teguhlah kalian kepada agama Allah, dan janganlah kalian ber-firqah-firqah (golongan-golongan yang bermusuhan)" QS Ali Imran: 103).
Pandangan tentang larangan ber-firqah ini tampaknya tidak mereka kaitkan dengan perintah Allah yang me-wajibkifayah-kan pembentukan golongan (dapat dibaca: jam'iyyah, persyarikatan, atau organisasi) yang bertugas mengajak kepada al-khair (nilai-nilai kebaikan universal), dan menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari kemungkaran sebagaimana petunjuk Allah pada QS Ali Imran ayat 104.
Mereka kelihatannya menyamakan Muhammadiyah, NU, Al-Washliyah, Perti, dan sebagainya dengan firqah-firqah jahiliyah yang bermusuhan dan berperang ratusan tahun semisal suku Aus dan suku Khazraj di Madinah masa Rasulillah Saw., yang disunggung pada QS Ali Imran ayat 103 di atas.
QS Ali Imran ayat 103 dimaksud tentu saja tidak relevan untuk melihat golongan-golongan dalam internal umat Islam. Meskipun ada friksi antar ormas, namun secara umum hubungan ormas Islam berlangsung positif dalam konteks fastabiqul khairat.
Selanjutnya jika dilihat dalam timbangan maslahat al-'ammah (kemaslahatan umum), maka keberadaan ormas Islam sangat srategis dan amat penting bagi umat, bangsa, dan negara. Renungkan saja, sekiranya ormas Islam tidak ada, maka Negara tidak sanggup mempertahankan dan merawat cinta tanah air sendirian, menyediakan pendidikan dan fasilitas kesehatan, dan lainnya bagi seluruh rakyat yang jumlahnya 270 juta lebih. Oleh karena itu, mereka yang berpikir kerdillah yang berpandangan keberadaan ormas Islam tidak penting.
Di sisi lain, mesti dilihat pula dengan cerdas bahwa keberadaan ormas Islam berposisi sebagai gerakan civil society bagi perjalanan bangsa sejak era kolonial sampai sekarang. Negara membutuhkan gerakan-gerakan ormas yang berhaluan nasionalis-religius untuk menolong negara dan membantu mempercepat pencapaian cita-cita negara adil-makmur.
Oleh karena itu, jangan lihat organisasi-organisasi modern ini sebagaimana kelompok-kelompok masyarakat jahiliyah abad ke-7 M.
Lagian, bukankah --secara esensial-- mereka yang menyebut diri sebagai salafiy juga "mengelompok"? Artinya mereka juga sebenarnya membentuk firqah baru di tubuh umat Islam di berbagai tempat/daerah. Bedanya, mereka tidak membentuk kesatuan pada tingkat nasional sebagaimana ormas-ormas Islam berbadan hukum. Firqah-firqah mereka bereksistensi di tingkat lokal. Di Padangsidimpuan, misalnya, mereka memiliki amal usaha seperti masjid, pesantren, dan membentuk jama'ah dan jam'iyah sendiri. Jadi pada hakikatnya mereka juga berorganisasi.
Lebih kacau lagi, jika cara pandang mereka tentang organisasi yang sempit kaku ini konsisten diterapkan dalam melihat sejarah sosial umat, maka kaum Muhajirin dan Anshar yang ada pada masa Rasulillah pun juga akan terkena sebutan firqah dhallah. Na'udzubillah min dzalik.
Kedua, pandangan tentang ibadah dan pengamalannya. Menurutku, mereka sangat concern pada aspek eksoteris (aspek luar) ibadah, khususnya shalat. Pada hal pengamalan ibadah tidak cukup hanya pada aspek eksoteris (aspek luar) dari ibadah berupa juz'iyyat, kaifiyyat, haiat suatu ibadah, tapi juga harus memperhatikan aspek esoteris (aspek dalam) dari ibadah. Justru aspek dalam dari ibadah inilah yang menjadi ruh atau jiwa dari ibadah. Allah SWT menegaskan aspek dalam ibadah ini dalam istilah-istilah: khusyuk, tadharru', khufyah, khauf, khifah, thama', rahab, raghab, ikhlas, dan sebagainya. Saya memiliki kesan ---mohon maaf, Allahu a'lam--- mereka yang menyebut diri ber-manhaj salaf di Padangsidimpuan, sebagaimana juga sebagian kaum Muslimin yang berorientasi pemurnian agama yang tekstualistik, lebih fokus pada pemahaman aspek luar ibadah dari pada aspek dalam. Pada hal semestinya pemahaman tentang aspek luar dan aspek dalam ini harus berimbang. Akibat dari ketidakseimbangan pemahaman aspek luar dan aspek dalam ini maka muncullah pemahaman dan sikap keagamaan yang sempit, kaku, harfiah, dan bersifat hitam-putih. Menjadi lebih ekstrim lagi karena aspek luar ibadah ini tampaknya dijadikan standar utama untuk menilai bid'ah atau sunnah.
Ketiga, adab dalam dakwah. Adab yang tinggi dalam dakwah mestinya menjadi pijakan, karena Allah SWT dan Rasul-Nya pun mencontohkan adab yang maha luhur dalam memahamkan dan menanamkan din al-Islam kepada umat manusia. Kitab-kitab sirah memperlihatkan bahwa pada masa-masa awal tugas kerisalahan, Allah SWT menuntun Nabi-Nya mengajarkan aqidah dan akhlak. Diperlukan waktu kurang lebih 10 tahun untuk pengajaran aqidah dan akhlak ini. Selanjutnya, setelah aqidah dan akhlak mulai mantap, barulah pengajaran syari'at, khususnya ibadah dan mu'amalah diberikan. Untuk pengajaran yang terakhir ini, butuh waktu kurang lebih 13 tahun. Dengan demikian, dalam mendaratkan pesan-pesan risalah Islam, Rasulullah Saw., membutuhkan waktu kurang lebih 23 tahun. Pada hal, sekiranya Allah SWT berkehendak, mudah saja bagi-Nya. Cukup mengatakan, "Kun, fa yakun" (Jadilah, maka akan jadilah yang dikehendaki Tuhan itu).
Sebagai contoh, dalam kasus pengajaran syari'at keharaman khamar (minuman memabukkan dan sejenisnya), Allah SWT tidak serta merta menyebut khamar itu haram atau terlarang. Penegasan haram baru terjadi setelah Allah SWT menurunkan ayat terkait khamar keempatkalinya (fase penurunan wahyu terakhir terkait khamar). Sebenarnya, sekiranya Allah suka, mudah saja bagi Allah untuk menyatakan, "Ini haram, itu halal." Tapi Tuhan yang Maha Bijaksana tidak memperlakukan manusia menerima syariat tanpa kesadaran akal dan hati. Manusia diberi kemerdekaan akal untuk menentukan pilihan, karena telah jelas mana jalan yang benar (ar-rusyd) dan mana jalan sesat (al-ghay). Tampak dalam proses pengharaman khamar ini, Allah SWT mengajarkan kepada manusia hikmah ilahiyyah yang maha tinggi dalam mendakwahkan agama. (Bandingkan dengan sebagian perilaku penyampai agama yang suka memvonis pengamalan agama saudaranya dengan istilah bid'ah, kafir, syirik, thaghut, dll.).
Penting dimengerti bahwa minuman khamar pada masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu adalah minuman yang dihidangkan pada upacara-upacara agama dan budaya, serta minuman yang telah mentradisi di tengah masyarakat secara turun-temurun. Dengan demikian, mengajak kaum Jahiliyah meninggalkan khamar bukan sesuatu yang mudah.
Dalam konteks masyarakat seperti itu, Allah ---melalui Rasul-Nya--- mengajarkan keharaman khamar secara berangsur yang ditandai dengan empat fase penurunan ayat. Pada fase pertama, nalar manusia disentuh dengan perilaku paradoknya dalam mengonsumsi kurma dan anggur. Di satu sisi, manusia mengonsumsinya sebagai rezki yang baik buatnya, namun di sisi lain, kaum Jahiliyah mengolahnya menjadi rezeki yang buruk (minuman khamar). Pada fase kedua, Allah mulai melabeli perbuatan minum khamar sebagai dosa besar (itsmun kabir) dengan tanpa menafikan adanya sedikit manfaat. Selanjutnya, fase ketiga, Allah memberi bimbingan yang semakin tegas agar orang beriman menjauhi jamaah shalat Nabi jika keadaannya masih mabuk khamar. Pada fase terakhir, barulah Allah SWT secara tegas melarang kaum beriman menjauhi khamar. Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (Al-Maidah (5) ayat 90-91).
Mari baca dengan seksama ayat-ayat berikut:*
a. An-Nahl (16) ayat 67:
وَمِنْ ثَمَرٰتِ النَّخِيْلِ وَا لْاَ عْنَا بِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْهُ سَكَرًا وَّرِزْقًا حَسَنًا ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰ يَةً لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
"Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti."**
b. Al-Baqarah (2) ayat 219:
يَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَا لْمَيْسِرِ ۗ قُلْ فِيْهِمَاۤ اِثْمٌ کَبِيْرٌ وَّمَنَا فِعُ لِلنَّا سِ ۖ وَاِ ثْمُهُمَاۤ اَکْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْــئَلُوْنَكَ مَا ذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـكُمُ الْاٰ يٰتِ لَعَلَّکُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, "Kelebihan (dari apa yang diperlukan)." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,"**
c. An-Nisa'/4 ayat 43:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَ نْـتُمْ سُكَا رٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَا بِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ
"Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati sholat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati untuk jalan saja, ..."**
d. Al-Maidah (5) ayat 90-91:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَا لْمَيْسِرُ وَا لْاَ نْصَا بُ وَا لْاَ زْلَا مُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَا جْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung."**
Keempat, menegaskan poin kedua dan ketiga di atas, penting diingat bahwa Tuhan sendiri memerintahkan kepada setiap Muslim agar "berbuat ihsan kepada orang lain sebagaimana Allah berbuat ihsan kepada diri manusia sendiri" (ahsin kama ahsanallahu ilaik) [Al-Qashash (28): 77]. Termasuk dalam hal ber-tabligh, setiap penyampai agama mesti berbuat ihsan di jalan dakwah. Bahkan mesti berupaya meneladani sikap dan perilaku ihsan Rasulillah Saw.
Penting diketahui bahwa ihsan adalah nilai tertinggi perbuatan baik, yakni suatu nilai perbuatan yang dikerjakan karena benar-benar ikhlas dan mengharapkan keridhaan Allah. Ketahuilah bahwa Allah SWT berbuat ihsan kepada makhluk-Nya tanpa mempersoalkan apakah makhluk tersebut jahat, pembangkang, atau pendosa. Rahmat-Nya selalu tercurah kepada siapa pun sampai pada waktu yang ditentukan. Allah adalah Ar-Rahman, yakni Tuhan yang kasihnya teramat sangat kepada semua makhluknya.
Ketahuilah, setiap penyampai agama akan dipandang bersikap dan berprilaku ihsan jika semua sikap dan laku perbuatannya mencerminkan perilaku dan sikap kenabian yang rahmatan lil 'alamin.
Kelima, manhaj (metodologi) pemahaman agama. Dalam merumuskan pemahaman agama yang lurus, Muhammadiyah menerapkan ijtihad jama'i (ijtihad kolektif) dalam Majelis Tarjih atau Musyawarah Nasional Tarjih. Sementara golongan Salafiy mendasarkan pemahaman agamanya kepada pribadi-pribadi tertentu yang mereka pandang ber-manhaj salaf.
Dengan Manhaj Tarjih dan Tajdid, maka warga Muhammadiyah menyandarkan pemahaman agamanya kepada hasil-hasil ijtihad jama'i (ijtihad kolektif) para ulama Tarjih. Dengan demikian dalam Muhammadiyah tidak terjadi kesetiaan pribadi kepada ulama tertentu, karena yang diperpegangi adalah Putusan Tarjih yang dihasilkan banyak ulama (ahli agama).
Di sisi lain, Muhammadiyah dengan "Salafiy" memiliki perbedaan krusial dalam metodologi memahami agama. Muhammadiyah menerapkan pendekatan bayani, burhani, dan 'irfani secara sirkuler-dialektis dalam ber-tarjih dan ber-tajdid, yang juga dibantu dengan ilmu-ilmu modern seperti Antropologi, Sosiologi, dan Hermeneutika. Kelompok "Salafiy" malah menghindari ilmu-ilmu modern dalam pemahaman atau kajian agama. Dalam hal pendekatan kajian, mereka bertumpu pada pendekatan bayani. Itulah sebabnya corak pemahaman agama mereka bersifat hitam-putih.
Sadarilah dengan sebaik-baiknya bahwa kaum Muslim tradisional menerima Islam dari para ulama yang pernah belajar di pusat-pusat keilmuan dunia Islam. Para ulama dimaksud tidak saja menerima pengajaran syariat, tetapi juga mendapat ijazah dari berbagai perguruan tarekat. Tokoh-tokoh ini dipandang oleh kaumnya sebagai wali-wali Allah yang telah bersih dari dosa. Pengajaran dari para auliya' ini bagi mereka bersifat suci. Dan karenanya mereka benar-benar mematuhi pengajarannya secara lahir dan batin, tanpa perlu berpikir tentang dalil-dalil yang menjadi landasan pemahaman atau pengamalan.
Itulah sebabnya mengapa kaum Muslim tradisional berpandangan bahwa ungkapan bid'ah apalagi syirik yang dialamatkan kepada mereka merupakan tuduhan yang sangat menyakitkan. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa mereka langsung memberi perlawanan ketika pemahaman agama yang mereka terima dari alim-ulama yang dihormati itu dilabeli bid'ah, sesat, syirik, dan sebagainya.
_________________________________
0 comments: