MARI BERMUHAMMADIYAH SECARA NATURAL (ALAMIAH)
Mengapa Harus Ber-Muhammadiyah secara Natural (Alamiah)?
Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk menuntun fitrah alamiah manusia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (ber-tauhid). Islam adalah agama ---yang sejak Nabi pertama (Adam a.s.) hingga Nabi terakhir (Muhammad Saw.)--- menuntunkan pemasrahan diri yang tulus-ikhlas hanya kepada Allah SWT. Pemasrahan diri hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa ini telah terpatron sejak manusia di alam ruh. Dan hal ini semakin mudah dipahami karena ruh ini ditiupkan oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, kepada jism (jasad) manusia yang telah sempurna kejadiannya di dalam kandungan. Tentu saja dengan peniupan ruh ini, maka spirit ilahiyah-lah yang masuk ke dalam jism manusia; Spirit suci yang membuat jasad manusia yang tadinya hanya condong kepada keduniaan, keburukan, kerendahan, dan kehinaan —karena memang jasad manusia berasal dari sesuatu yang hina— akhirnya juga condong kepada keakhiratan, kebenaran, kebaikan, dan kesucian. Atau lebih tepatnya condong kepada Yang Maha Benar (al-Haqq), Allah SWT. Manusia dengan demikian adalah makhluk bidemensional (lihat QS Asy-Syams/91: 7-10). Di sinilah titik krusial peran penting din al-haqq (din al-Islam) dalam membimbing manusia. Din al-haqq telah diformulasi oleh Allah sesuai dengan fitrah insaniyah manusia. Itulah sebabnya din al-haqq (din al-Islam) disebut juga agama fitrah.
Pemahaman demikian inilah tampaknya yang menjadi alasan mendasar mengapa dalam penjelasan "Kepribadian Muhammadiyah" disebutkan bahwa Islam yang dibawakan oleh Muhammadiyah adalah Islam yang sadzajah (سذاجة), Islam yang lugu (apa adanya [polos, -pen.]), Islam yang menurut Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Saw. Islam demikian inilah Islam yang sesuai dengan fitrah dasar manusia. Hal ini pulalah yang menjadi alasan mengapa Muhammadiyah dalam mengusung dan membawakan gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, harus sesuai dengan nature kepribadian manusia. Tidak boleh menggunakan pendekatan hitam-putih, halal-haram atau sunnah-bid’ah, karena Tuhan saja dalam memahamkan agama-Nya ini tidak menggunakan pendekatan halal-haram atau sunnah-bid’ah. Untuk contoh yang sangat baik tentang dakwah yang natural (dakwah bilhikmah dan mauizhah hasanah), mari kita baca bagaimana Allah SWT menuntunkan syari'at pengharaman khamar. Untuk kasus ini, Allah menurunkan ayat Al-Qur`an terkait khamar sebanyak empat kali pada fase waktu yang berbeda, yaitu surat An-Nahl/16: 67, Al-Baqarah/2: 219, An-Nisa`/4: 43; dan Al-Maidah/5: 90-91. Pada hal, sekiranya Allah menghendaki, mudah saja bagi-Nya untuk menyatakan, "Ini haram, itu halal." Tapi, Subhanallah, Maha Suci Allah, Tuhan tidak melakukan cara-cara gegabah seperti itu. Belum lagi kalau direnungkan secara mendalam tentang sejarah turunnya wahyu yang memerlukan waktu kurang lebih 23 tahun. Poin ini adalah bukti yang tidak terbantahkan bahwa Allah SWT ---melalui Nabi-Nya--- benar-benar mendidik manusia secara edukatif dan alamiah dalam menerima Islam. Pada hal sekali lagi, jika Allah mau, mudah saja bagi-Nya untuk menurunkannya secara sekali gus. Namun, sekali lagi, Allah SWT tidak melakukan demikian. Dia Maha Tahu keadaan intelektual, psiklogis, dan sosial-budaya manusia-manusia awal penerima Islam (Arab Jahiliyah). Adab dakwah demikian ini mesti menjadi contoh dan pelajaran penting buat generasi Muhammadiyah masa kini dan masa datang.
Para pendahulu Muhammadiyah mewasiatkan kepada generasi pelanjut, pelangsung, dan penyempurna gerakan dakwah Muhammadiyah agar senantiasa memperdalam masuknya iman, memperluas faham agama, memperbuahkan budi pekerti di tengah-tengah masyarakat, dan lain sebagainya (Baca Langkah Muhammadiyah 1938-1940), sehingga Islam yang dibawakan oleh warga persyarikatan benar-benar Islam yang sadzajah. Dalam hal pemahaman dan pengamalan agama, mereka mengingatkan bahwa kebenaran Keputusan Tarjih ---yang menjadi panduan pemahaman agama Muhammadiyah--- tidaklah bersifat mutlak. Dengan demikian, kebenarannya terbuka untuk dikritisi. Mereka juga menyatakan bahwa Tarjih itu disusun tidak ada di dalamnya sifat perlawanan atau penentangan terhadap dalil-dalil yang tidak dipilih oleh Majelis Tarjih. Oleh karena itu, dalam beragama, warga Muhammadiyah tidak boleh menyalahkan pemahaman agama golongan lain yang berbeda dengan pemahaman agama Muhammadiyah, atau pemahaman agama yang tidak sesuai dengan Keputusan Tarjih Muhammadiyah. Dalam Kitab Masalah Lima ditegaskan:
ومع العلم ان اي قرار يتخذ انما هوا ترجيح بين الاراء المعروضة دون ابطال اي رءي مخالف
Terjemahnya:
…dan dengan MENGINSYAFI bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekedar mentarjihkan di antara pendapat-pendapat yang ada, tidak berarti menyalahkan pendapat yang lain. … (Lihat bab “Kitab Masalah Lima” dalam Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1432/2011, h. 279).
Dari Ber-Muhammadiyah Normatif ke Substantif
Banyak warga Muhammadiyah yang tampaknya memiliki pandangan bahwa corak pemahaman agama yang benar adalah pemahaman agama yang normatif atau simbolistik. Itulah sebabnya orang di luar Muhammadiyah menyebut pemahaman warga persyarikatan bersifat skripturalistik (tekstualistik). Dalam pemahaman fiqh ibadah, misalnya, corak yang menonjol adalah pemahaman agama yang “sangat” mengutamakan aspek juz’iyyat (rincian), hai`at (tingkah), dan kaifiyyat (tata cara) beribadah. Sementara aspek esensial (ruhiyah/sufistik) ibadah hampir-hampir terabaikan. Aspek esensial dimaksud seperti khusyuk, ikhlas, thuma’ninah, tadharru’, khufyah, khauf dan lain-lain.
Meskipun pada tahun 2000 yang lalu penggunaan pendekatan bayani (tekstual), burhani (kontekstual), dan ‘irfani (sufistik) dalam bertarjih telah ditanfidzkan, namun Pemahaman Qur’an dan Sunnah di lingkungan kita (baca: Muhammadiyah Tapanuli Bagian Selatan) terasa bersifat tekstualistik/skripturalistik. Pemahaman terhadap aspek burhani dari nash (teks) Al-Quran atau Hadits hampir terabaikan. Apa lagi aspek ‘irfani dari nash (teks) dimaksud. Pada masa-masa selanjutnya, kita berharap agar warga persyarikatan memiliki pemahaman agama yang syumul (luas), utuh, komprehensif dan substantif sebagaimana tuntunan manhaj tarjih dan tajdid. Hal demikian ini perlu terus mendapat perhatian agar warga dan simpatisan Muhammadiyah tidak terjebak pada paradigma (mode pemahaman) agama hitam-putih atau Sunnah-Bid'ah.
Penting dicatat bahwa dengan di-tanfidz-kannya penggunaan pendekatan bayani, burhani, dan ‘irfani dalam memahami teks-teks agama dan keagamaan (yang secara teknis-metodologis diterapkan secara sirkuler-dialektis dalam bertarjih) pada tahun 2000 yang lalu, maka pemahaman agama Muhammadiyah harus menukik hingga ke aspek ruhaniah (sufistik). Penerapan ketiga pendekatan ini akan membuat pemahaman agama Muhammadiyah semakin padu, utuh, mendalam, komprehensif dan substansial. Dengan cara demikian pula, maka pemahaman agama Muhammadiyah diharapkan tidak lagi bercorak tekstual atau skriptural, tapi akan bercorak substansial.
Mari Pelihara Semangat Fastabiqul Khairat dalam Beragama
Semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), tidak saja dengan golongan yang berbeda agama (QS Al-Maidah/5: 48), tapi juga dengan kelompok umat Islam yang berbeda pemahaman dan peng-amalan agama. Dalam konteks penyebaran dakwah Muhammadiyah, semangat fastabiqul khairat ini meniscayakan agar dakwah disampaikan dalam suasana dialogis yang setara dan terbuka. Orang lain tidak boleh diposisikan merasa terpaksa dalam menerima dakwah Muhammadiyah. Pemaksaan, apa pun bentuknya, adalah penindasan. Penindas dalam agama disebut thaghut. Mari jauhi sikap-sikap thaghut dalam menyampaikan agama. Ingat pesan Allah kepada Nabi kita (yang terjemahnya) sebagai berikut: "Berilah peringatan. Karena engkau hanya seorang pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka." (Al-Ghasyiyah/88: 21-22). "...jika mereka berpaling (menolak dakwahmu), maka ketahuilah, kewajibanmu hanya menyampaikan." (Ali Imran (3): 20).
Penutup
0 comments: