Mi’raj artinya naik menuju Allah. Hati yang mi’raj maksudnya hati yang fokus (tertuju) kepada Allah. Ada ucapan yang terkenal di kalangan ulama sufi:
الصلاة معراج المومنين
Artinya:
Shalat itu mi’raj (naiknya hati) orang-orang beriman.
Sepanjang yang saya tahu, ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadis tentang shalat lebih banyak menuntun gerak hati dari pada gerak pisik. Hanya saja dalam kajian fiqh ibadah, gerak hati kurang menjadi kajian. Sebagaimana lazimnya, fiqh sebagai ilmu zhahir tentu lebih banyak mengkaji yang zhahir dari pada yang bathin. Itulah sebabnya, para sufi menyebut fiqh sebagai ilmu zhahir. Di samping itu fiqh disajikan untuk umat Islam dalam segala tingkatan. Realitasnya, pengkajian tentang gerak hati dipandang oleh sebagian ulama hanya bisa diikuti oleh segmen tertentu dari umat Islam, katakanlah mereka yang secara relatif telah memiliki pengetahuan fiqh ibadah yang memadai. Pada hal, gerak hati dimaksud sebenarnya bisa dilakukan tanpa harus mengawalinya dengan pengkajian teoritis. Oleh karena itu siapa pun dari umat Islam bisa mengalami mi’raj hati dimaksud.
Dalam Al-Qur`an surat surat Thaha/20: 14, Allah berfirman:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Artinya:
Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.
Ayat ini berisi perintah, “dan dirikanlah Shalat untuk mengingat-Ku”. Shalat adalah untuk mengingat Allah, dan ketika shalat seseorang harus berusaha melepaskan ingatan kepada selain Allah. Bahkan Allah melarang kita menghampiri shalat jika kita sedang hilang kesadaran (mabuk), hingga kita sadar apa yang kita ucapkan. Dengan demikian, kesadaran orang yang shalat dengan zikir dan do’a yang diucapkannya pada saat shalat menjadi syarat batini dalam melaksanakan shalat. Allah berfirman dalam surat An-Nisa`/4: 43 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu lakukan shalat jika kamu dalam keadaan mabuk hingga kamu sadar apa yang kamu ucapkan.
Selanjutnya, dalam surat Al-A’raf/7: 205, Allah berfirman:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِين
Artinya:
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
Ayat yang senada sebagai mana firman Allah dalam surat Al-A’raf/7: 55:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِين
Artinya:
Berdoalah kepada Tuhan-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ayat di atas menuntun agar menyebut nama Allah dalam hati dengan berendah diri di hadapan Allah dan perasaan takut akan ke-Maha Perkasaan-Nya, azab dan siksa-Nya, dan dengan suara yang lemah lembut. Allah juga mengingatkan kita agar tidak termasuk orang yang lalai. Ketika shalat, hati kita sangat mungkin terdinding oleh kelalaian. Dinding kelalaian itu misalnya angan-angan duniawiyah, atau masalah duniawiyah. Setiap kali dinding kelalaian ini muncul, maka kita harus segera membuangnya, dan mengembalikan ingatan dan kesadaran kita kembali kepada Allah. Di akhir shalat, kita pun dituntun oleh Rasulullah mengucapkan zikir: Astaghfirullahal azhim. Zikir ini kita ucapkan sebagai permohonan ampun kita kepada Allah, karena dalam shalat seharusnya ingatan dan kesadaran kita fokus kepada Allah, tetapi sering kali ingatan itu tertuju kepada yang lain. Semoga Allah mengampuni kita.
Dalam suatu hadis, Nabi kita mengatakan betapa banyak orang yang shalat, lalu ia tidak mendapatkan apa pun dari shalatnya kecuali penat dan letih. Nabi kita juga pernah menyuruh seorang sahabat untuk mengulangi shalatnya, karena Nabi melihat bahwa sahabat tersebut tidak mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.
Shalat yang dikerjakan dengan benar-benar mengingat Allah, berendah diri, perasaan takut kepada-Nya, ucapan yang lemah lembut dan berkesan, mengenyahkan dinding-dinding kelalaian akan memi’rajkan hati seorang hamba kepada Allah, maka Allah pun akan menurunkan sakinah (ketenangan) ke dalam hati hamba-Nya. Firman Allah dalam surat al-Fath/48 ayat 4:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمً
Artinya:
Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang yang beriman agar iman mereka bertambah kuat di samping iman mereka (yang sekarang). Kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Kemudian dalam surat Ar-Ra’d/13: 27-28, Allah berfirman:
...قُلْ إِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ أَنَابَ (27) الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوب ( 28)
Artinya:
Katakanlah,“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Ia kehendaki dan menunjuki orang yang bertobat kepada-Nya.(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.
Wallahu a’lam.
(Referensi utama tulisan ini: Al-Ghazali, Ihya` ‘Ulumiddin, Juz III).
Padang, 15 Mei 2011
0 comments: