MENGAPA KHAWATIR FAKULTAS KEAGAMAAN TERMARGINALKAN?
Oleh: Anhar
Lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN) mengkhawatirkan banyak orang akan termarginalisasinya fakultas keagamaan selain fakultas tarbiyah, yakni fakultas syariah, ushuluddin, dakwah dan adab. Beralasankah kekhawatiran itu? Untuk menjawab kekhawatiran ini perlu perenungan (kontemplasi) filosofis yang sungguh-sungguh.
Saya berpendapat --- paling tidak untuk saat ini --- kekhawatiran itu tidak perlu terjadi. Alasannya, karena kekhawatiran yang demikian muncul disebabkan oleh romantisme dan justifikasi sejarah ilmu keagamaan Islam, mendominasi pikiran kita dalam mengembangkan pendidikan tinggi Islam.
Kalau kita memiliki pandangan bahwa dimasa kini dan masa depan ahli-ahli di bidang keagamaan hanya mungkin lahir dari bentuk fakultas keagamaan seperti selama ini (fakultas syariah, ushuluddin, dakwah dan adab), itu artinya bentuk fakultas yang sudah mapan itu harus dipertahankan sepanjang sejarah. Ini adalah cara berpikir yang status quois. Saya katakan demikian, karena kita tidak lagi memiliki alternatif berpikir tentang bentuk fakultas (lebih luas bentuk lembaga pendidikan Islam) yang strategis, efektif dan visioner untuk melahirkan ahli-ahli agama.
Pandangan yang status quo itu juga melihat bahwa dari fakultas sosial dan sains UIN, tidak akan mungkin lahir ahli agama. Hal demikian terjadi karena dalam benak mereka ahli agama yang harus dilahirkan itu adalah ahli-ahli agama seperti abad pertengahan Islam, atau seperti ulama-ulama tempo doeloe.
Mari kita pikirkan lebih dalam. Kalau misalnya sistem pendidikan tinggi Islam seperti yang dilakukan UIN Malang, atau pendidikan tinggi Islam lain, yakni menyantrikan mahasiswa selama satu atau dua tahun pertama di kampus, dan membekali mereka dasar-dasar Al-Qur`an, Hadis, dan Sirah Nabawiyah serta bahasa, kemudian mengarahkan mereka untuk mengambil program studi (prodi) yang mereka sukai, walaupun yang mereka pilih adalah sains, apakah tidak mungkin melahirkan ahli agama? Saya sangat yakin, jawabannya ya. Akan lahir ahli-ahli agama yang berbeda, yakni sesuai dengan zaman mereka, bukan seperti zaman doeloe, dan bukan pula seperti zaman abad pertengahan Islam. Apa lagi prodi yang mereka pilih adalah prodi keagamaan.
Keterlambatan kita melakukan terobosan-terobosan pendidikan Islam itu menurut saya karena paradigma pikir kita tentang pengembangan pendidikan Islam tidak up to date lagi. Pikiran kita sudah memfosil tanpa kita sadari. Akibatnya kita tidak berusaha menilai dengan ukuran-ukuran masa kini dan masa depan. Kita memandang pendapat kita benar hanya karena sesuai dengan zaman kita, atau sesuai dengan zaman lampau yang kita puja. Wallahu a’lam.
Lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN) mengkhawatirkan banyak orang akan termarginalisasinya fakultas keagamaan selain fakultas tarbiyah, yakni fakultas syariah, ushuluddin, dakwah dan adab. Beralasankah kekhawatiran itu? Untuk menjawab kekhawatiran ini perlu perenungan (kontemplasi) filosofis yang sungguh-sungguh.
Saya berpendapat --- paling tidak untuk saat ini --- kekhawatiran itu tidak perlu terjadi. Alasannya, karena kekhawatiran yang demikian muncul disebabkan oleh romantisme dan justifikasi sejarah ilmu keagamaan Islam, mendominasi pikiran kita dalam mengembangkan pendidikan tinggi Islam.
Kalau kita memiliki pandangan bahwa dimasa kini dan masa depan ahli-ahli di bidang keagamaan hanya mungkin lahir dari bentuk fakultas keagamaan seperti selama ini (fakultas syariah, ushuluddin, dakwah dan adab), itu artinya bentuk fakultas yang sudah mapan itu harus dipertahankan sepanjang sejarah. Ini adalah cara berpikir yang status quois. Saya katakan demikian, karena kita tidak lagi memiliki alternatif berpikir tentang bentuk fakultas (lebih luas bentuk lembaga pendidikan Islam) yang strategis, efektif dan visioner untuk melahirkan ahli-ahli agama.
Pandangan yang status quo itu juga melihat bahwa dari fakultas sosial dan sains UIN, tidak akan mungkin lahir ahli agama. Hal demikian terjadi karena dalam benak mereka ahli agama yang harus dilahirkan itu adalah ahli-ahli agama seperti abad pertengahan Islam, atau seperti ulama-ulama tempo doeloe.
Mari kita pikirkan lebih dalam. Kalau misalnya sistem pendidikan tinggi Islam seperti yang dilakukan UIN Malang, atau pendidikan tinggi Islam lain, yakni menyantrikan mahasiswa selama satu atau dua tahun pertama di kampus, dan membekali mereka dasar-dasar Al-Qur`an, Hadis, dan Sirah Nabawiyah serta bahasa, kemudian mengarahkan mereka untuk mengambil program studi (prodi) yang mereka sukai, walaupun yang mereka pilih adalah sains, apakah tidak mungkin melahirkan ahli agama? Saya sangat yakin, jawabannya ya. Akan lahir ahli-ahli agama yang berbeda, yakni sesuai dengan zaman mereka, bukan seperti zaman doeloe, dan bukan pula seperti zaman abad pertengahan Islam. Apa lagi prodi yang mereka pilih adalah prodi keagamaan.
Keterlambatan kita melakukan terobosan-terobosan pendidikan Islam itu menurut saya karena paradigma pikir kita tentang pengembangan pendidikan Islam tidak up to date lagi. Pikiran kita sudah memfosil tanpa kita sadari. Akibatnya kita tidak berusaha menilai dengan ukuran-ukuran masa kini dan masa depan. Kita memandang pendapat kita benar hanya karena sesuai dengan zaman kita, atau sesuai dengan zaman lampau yang kita puja. Wallahu a’lam.
0 comments: