REFLEKSI SINGKAT ATAS KONSEP PENDIDIKAN RASULULLAH: Peluang Cerah MasaDepan Pendidikan Islam di Indonesia
Sebagian konsep-konsep dan teori pendidikan modern yang bermunculan, sesungguhnya benih-benihnya, bahkan konsepnya telah ada pada sirah dan hadis-hadis beliau. Sebagai contoh misalnya konsep tentang soft skill dalam dunia pendidikan. Konsep ini baru saja go public dalam dunia pendidikan di Indonesia. Elfindri dalam buku Soft Skills untuk Pendidik (2010) mengatakan bahwa keberhasilan seseorang di tengah masyarakat bukan semata-mata dijelaskan oleh peranan keilmuan dan keterampilannya, yang lazim disebut sebagai hard skills. Akan tetapi keberhasilan individu ternyata juga ditentukan oleh keterampilan penunjang ‘soft skills’. Menurutnya, di antara 16 komponen soft skills yang penting adalah keterampilan berkomunikasi, kejujuran, kerja keras, kekerabatan, santun, dan berbudi. Nilai-nilai soft skills dimaksud sebenarnya adalah nilai-nilai etik yang menjadi bagian penting ajaran Islam. Internalisasi nilai-nilai etik itu sendiri adalah misi utama kerasulan Muhammad Saw, yang disebut oleh beliau sebagai misi penyempurnaan akhlak manusia.
Jika dikritisi lebih lanjut, konsep soft skills yang ada sekarang ini sepatutnya muncul dari ilmuan muslim, bukan muncul dari ilmuan seperti Klaus Peggy, yang menulis The Hard Truth about Soft Skills: Workplace Lessons Smart People Wish They’d Learned Sooner ( 2007). Disebut demikian karena Rasulullah Saw sesungguhnya sumber yang tiada habis-habisnya untuk konsep soft skills ini. Demikian pula beberapa konsep lainnya, seperti teori baru psikologi Daniel Golemann tentang kecerdasan atau inteligensi yakni EQ (Emotional Question) yang menjadi penyempurna sangat penting bagi teori kecerdasan lama yaitu IQ, yang selanjutnya memicu munculnya konsep SQ (Spiritual Questions).
Temuan-temuan konsep dan teori yang baru itu sering membuat kita terkejut ketika ternyata Al-Qur`an dan Hadis secara inplisit telah lama menyimpan konsep-konsep seperti itu. Dalam keadaan seperti ini, kita hanya bisa mengucapkan istighfar, karena kita telah melupakan Al-Qur`an dan Hadis Nabi Saw dalam kajian atau riset-riset pendidikan.
Namun demikian, sisi positif realitas seperti ini berdampak kepada semakin kukuhnya keyakinan bahwa Al-Qur`an dan Hadis menyimpan perbendaharaan maha besar yang sangat berharga dan benar-benar menjadi sumber paling penting bagi pemikiran, perumusan konsep dan teori pendidikan. Keyakinan ini lebih kokoh lagi, jika dikritisi lebih lanjut paradigma filsafat dan teori pendidikan di luar Islam (baca: Barat). Kesan kuat yang saya rasakan, filsafat dan teori pendidikan Barat berdiri di atas landasan yang penuh ikhtilaf, dengan demikian tentu rapuh dan sebagian besarnya malah bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Dalam kasus Indonesia, menurut Profesor Made Pidarta, filsafat pendidikan Indonesia sampai sekarang belum juga jelas. Realitas inilah yang semakin memperkokoh keyakinan bahwa konsep pendidikan Rasulullah Saw akan benar-benar menjadi acuan ideal pendidikan sebagaimana pada zaman klasik Islam.
Di tengah pencarian konsep jati diri pendidikan bangsa kita, maka konsep pendidikan Rasulullah adalah tawaran yang paling strategis untuk menjawab bagaimana profil manusia Indonesia yang diidealkan sebagai manusia beriman dan bertakwa, serta memiliki akhlak mulia sebagaimana termaktub pada rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003. Oleh karena itu, riset-riset tentang konsep dan teori pendidikan dalam al-Qur`an dan Hadis perlu mendapat perhatian lebih besar lagi, sehingga produksi konsep-konsep pendidikan Islam akan akan terus meningkat dan semakin kaya baik kuantitas maupun kualitasnya.
Pada saatnya nanti, dengan semakin banyaknya konsep dan teori unggul yang lahir dari rahim pendidikan Islam, para ahli dan praktisi pendidikan muslim atau non-muslim, akan menerimanya sebagai suatu konsep atau teori pendidikan yang dapat diterapkan oleh siapa saja khususnya bagi pembangunan dan pengembangan pendidikan di Negara ini.
Saya mengira, harapan seperti tersebut di atas bukanlah sesuatu yang utopis. Saat ini saja, tanda-tanda positif ke arah terwujudnya harapan itu telah nampak. Tanda-tanda paling awal transinternalisasi nilai-nilai Islam ke dalam Pendidikan Nasional semakin marak saja. Tanda-tanda dimaksud seperti masuknya idiom-idiom Islam ke dalam Sistem Pendidikan Nasional; pesantren menjadi bagian pendidikan nasional; begitu juga bentuk-bentuk pendidikan non-formal lainnya seperti majelis ta’lim.
Jika pada tataran praktis-konstitusional, pendidikan Islam telah menjadi bagian pendidikan nasional, maka pada tataran teoritis dan filosofis, diharapkan agar konsep dan teori pendidikan Islam akan menjadi grand theory dan middle theory atau paling tidak application theory bagi pembangunan dan pengambangan pendidikan nasional.
Apa yang disebut terakhir tentu suatu jihad besar yang harus diperankan oleh para pemikir dan peneliti pendidikan Islam di Indonesia. Peluang untuk kiprah para pakar pendidikan Islam di masa depan nampaknya sangat besar. Oleh karena itu mereka juga harus diberi ruang dan dukungan besar untuk mencerahkan pendidikan Islam yang sudah tentu juga pendidikan nasional. Wallahu a’lam.
0 comments: