ARAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN INTELEKTUAL MUSLIM

Oleh: Anhar

(Teks ini dari khutbah jum'at Penulis di Masjid Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Padangsidimpuan, Sumut)

Sebagai manusia dewasa pernahkah kita merenung, bermuhasabah, atau berkontemplasi tentang jalan dan arah pengembangan kepribadian kita? Dengan karunia umur yang sudah puluhan tahun ini, pernahkah kita dengan sungguh-sungguh bertanya kepada diri kita: untuk tujuan apa keseluruhan minat, bakat, angan-angan, ambisi, harapan, rencana-rencana, aktivitas-aktivitas dan cita-cita kita? Sudahkah kita mencoba memahami dengan sungguh-sungguh maksud Ilahi bahwa kita makhluk manusia tidak akan diciptakan kecuali untuk melakukan penghambaan yang ikhlas kepada-Nya, dan melaksanakan misi kekhalifahan sebagai wakil-Nya di bumi? sebagai komunitas intelektual muslim, pernahkah kita renungkan bagaimana grand visi dan grand orientasi kita tentang arah dan tujuan pengembangan intelektual kita?

Jika kita membaca sejarah Islam periode Makkah, grand visi dan grand orientasi inilah yang menjadi fokus awal pesan dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukan Rasulullah SAW. Hal ini dibuktikan dengan ayat-ayat Al-Qur`an yang turun pada periode awal Islam dimaksud. Banyak ayat Al-Qur`an yang mengeritik grand visi (visi fundamental) kaum jahiliyah yang rendah dan hina. Misalnya:

Q.S. At-Takatsur ayat 1-4: Bermegah-megah telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui  (akibat perbuatanmu itu). Kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui.

Q.S. Al-Humazah ayat 1-4: Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah.

Q.S. Al-Qiyamah, 75: 3-5: Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? (Bahkan) Kami mampu menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. Tetapi manusia hendak membuat maksiat terus-menerus.

Q.S. Al-'Alaq, 96: 6-7: Sekali-kali tidak! Sungguh manusia itu benar-benar melampaui batas. Apa bila melihat dirinya serba cukup.

Hadirin yang dimuliakan Allah...

Itulah di antara beberapa gambaran suram grand visi (visi fundamental) kaum jahiliyah yang rendah dan hina. Suatu grand visi yang rendah,  hina dan bersifat destruktif, yang akan merusak sendi-sendi bangunan sosial dan peradaban, dan dengan demikian orang yang bervisi demikian pasti anti keadaban.

Nabi kita Muhammad SAW telah berhasil menjungkirbalikkan grand visi jahiliyah itu, dan menggantinya dengan grand visi tauhidiy atau Islamiy.

Bagaimana dengan grand visi kita? Atau dalam bahasa filsafat pendidikan: Bagaimana falsafah yang kita miliki tentang arah pengembangan kepribadian kita? Sebagai calon ilmuan atau intelektual muslim, bagaimana visi kita tentang bentuk kepribadian yang menjadi cita-ideal kita?

Hadirin...

Marilah kita kembali berkontemplasi tentang visifundamental Islam dalam mengembangkan kepribadian. Di tengah kontemplasi, bisa jadi kita akan menemukan diri kita ternyata masih berada pada posisi dan kualitas pribadi kaum jahiliyah. Na'udzubillah min dzalik! Dalam psikologi, Sigmund Freud memandang kepribadian jahiliyah itu masih berada pada periode perkembangan jiwa anak-anak yang paling elementer yaitu periode oral, anal, dan genital. Orang seperti ini menurut Freud mengalami fiksasi, yakni keterlambatan perkembangan kepribadian, dan orang ini menurut Freud pasti mengalami sakit jiwa. Meskipun sudah dewasa, ia memandang kenikmatan hanya pada makan dan minum dan mempermainkan alat kelamin. Perbedaannya dengan anak-anak, ia mengubah makan dan minum ke dalam bentuk simbol, misalnya dalam bentuk mengumpul-ngumpul kekayaan atau tenggelam dalam memenuhi hawa nafsunya.

Hadirin...

Hamka mengatakan bahwa orang yang belum mampu mengontrol materi, kebendaan, atau dorongan hawa nafsu dalam memenuhi kebutuhannya, hal itu pertanda bahwa ruhnya tidak fungsional. Ruhnya masih dikendalikan oleh jasadnya atau hawa nafsunya. Allah mencemooh orang ini sebagai manusia yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Al-Ghazali mengatakan, orang ini tidak akan pernah mendapatkan kelezatan ibadah dan lebih dari itu tidak akan mencapai ma'rifah. Bahkan al-Ghazali menyindir orang ini sebagai orang-orang yang sibuk berputar-putar di sekitar WC ketika orang lain beribadah di mesjid.

Oleh karena itu, jika perkembangan kepribadian kita masih periode oral, anal dan genital, maka kita tidak akan pernah sampai kepada keulamaan, atau derajad kewalian. Kita bahkan akan terhina karena bertekuk lutut di bawah perintah duli tuan hawa nafsu kita. Suatu derajad yang hina yang setara dengan derajad binatang ternak (al-an'am), bahkan lebih rendah dan sesat (balhum adhall). Jika demikian, kita pun tidak akan dipandang oleh Nabi kita yang mulia sebagai seorang intelektual muslim yang pantas menjadi waratsat al-anbiya`.

Hadirin...

Sebagai intelektual atau calon intelektual, mari kita lebih sering berkontemplasi diri, bermuhasabah. Pada station yang mana kita sekarang. Dalam keseluruhan aktivitas pikir, sikap dan laku kita, di kampus, di rumah atau dimana saja, apakah berproses menuju keulamaan yang waratsat al-anbiya` atau justru mengarah kepada ‘ulama` al- su`.

Untuk memperkukuh visi kita tentang ‘ulama waratsat al-anbiya`, ada baiknya kita dengar pandangan Syaikh Ahmad bin Ajibah sebagaimana disadur oleh K.H. Achmad Siddiq:

الناس ثلاثة عالم و عابد و عارف . و كلهم أخذ حظا من الوراثة النبوية : فالعالم ورث أقوال النبي صلى الله عليه و سلم علما و تعليما بشرط إخلاصه, و إلا خرج من الوراثة الكلية و العابد ورث أفعاله صلى الله عليه و سلم من صيامه و قيامه ومجاهدته والغارف (الصوفي) ورث العلم والعمل وزاد عليهما بورا ثة الأخلاق التي كان عليها باطنه صلى الله عليه و سلم من زهد و ورع و خوف و رجاء و صبر و حلم و محبة و معرفة.


Artinya:

Manusia itu (maksudnya para ulama) ada tiga: (1) ‘Alim, (2) ‘Abid, (3) ‘Arif. Masing-masing mewarisi bagian dari warisan kenabian. Seorang yang ‘alim, mewarisi ucapan-ucapan Rasulullah, yaitu ilmu dan pengajaran, tetapi syaratnya harus ikhlas. Kalau tidak ikhlas, maka sama sekali orang tersebut tidak akan mewarisi warisan kenabian. Seorang yang ‘Abid, mewarisi perbuatan Nabi, yaitu shalatnya, puasanya, mujahadahnya dan perjuangannya. Sedangkan Seorang yang ‘arif mewarisi ilmu dan amal Rasulullah (maksudnya: orang tersebut di samping seorang ‘alim, juga seorang ‘abid), ditambah dengan pewarisan akhlak yang sesuai dengan batin (mental) Rasulullah, berupa: zuhud, wara`, Takut (kepada Allah), berharap (akan ridha-Nya), sabar, hilm (stabilitas mental), kecintaan (kepada Allah dan segala yang dicintai oleh-Nya), ma’rifah (penghayatan yang tuntas tentang ketuhanan), dan sebagainya.

Orang yang ‘arif inilah yang akan mencapai derajad keulamaan atau kewalian. Menurut Murtadha Muthahhari, salah satu tahap dalam “wilayah” atau kewalian, adalah tahap ketika seseorang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya. Dia tidak akan marah ketika seharusnya marah. Dia tidak ingin membalas dendam ketika semestinya ia membalas dendam. Dia tidak sakit hati ketika orang menyakiti hatinya. Nafsunya sudah terkendalikan. Jika orang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya, maka ia akan naik ke dalam wilayah (tahap kewalian) yang kedua, yaitu ketika ruhnya sudah bisa mengendalikan tubuhnya. Tingkat yang ketiga, ialah ketika ruhnya sudah bisa mengendalikan gerakan alam semesta, dan dari dirinya memancar sesuatu yang menggerakkan dan mengguncangkan seluruh molekul di sekitarnya.

Orang seperti ini menurat Al-Farabi akan mendapat limpahan ilmu ilahiyah dari akal aktif (malaikat Jibril), atau dapat melakukan kontak langsung dengan hadhrat rububiyah versi Ghazali. S.H. Nasr mengatakan, orang seperti inilah yang akan sukses membangun peradaban dan mengemban tugas-tugas kemanusiaan, karena ia telah berhasil memi’rajkan ruhaninya, sebagaimana Nabi SAW ikutannya juga telah mi’raj sebelum mengemban tugas membangun peradaban Muslim di Madinah.Bahkan menurut Al-Ghazali, ketika nyawa wali Allah ini dicabut, malaikat maut pun sudi memberi tangguh. Dalam suatu dialog dengan hamba yang shalih ini, malaikat maut berkata kepadanya, “Pilihlah dalam keadaan apa engkau sukai aku cabut nyawamu. Hamba itu menjawab, “Engkau dapat melakukan itu? Malaikat maut berkata, “Ya, aku disuruh melakukan itu” Wali Allah itu menjawab, “Biarkan aku hingga aku berwudhu’ dan melakukan shalat.” Maka malaikat maut itu pun memberinya waktu dan mencabut nyawa wali Allah itu ketika sedang sujud.

 

Hadirin rahimakumullah…

Demikianlah khutbah ini, semoga bermanfaat, dan menjadi nasehat bagi diri khatib dan saudara-saudaraku semua di tengah-tengah pengabdian kita di kampus harapan umat ini. Semoga kita menjadi intelektual muslim yang benar-benar berproses menuju keulamaan atau kewalian.

برك الله لي و لكم إنه هو الغفور الرحيم

0 comments: