MENGAPA HERMENEUTIKA PENTING DALAM MEMAHAMI AGAMA?
Hermeneutika diperlukan dalam memahami pesan agama karena ada jarak antara ruang ide dengan ruang bahasa. Ruang bahasa ---dengan segala upaya manusia membangun artikulasinya-- dipergunakan untuk mengabstraksikan ide atau esensi pesan. Jarak dimaksud terjadi karena adanya keterbatasan bahasa sebagai simbol abstraksi ide atau pesan untuk mentransmisikan arti dan maksud pesan dalam interaksi manusia. Bahasa ---sampai hari ini dan mungkin untuk selamanya--- tidak memiliki kata dan ungkapan yang cukup untuk menyimbolkan penarasian makna suatu ide atau pesan. Termasuk dalam konteks ini adalah ide atau pesan agama. Dalam konteks pemahaman terhadap pesan agama, penomena adanya jarak antara ide dan bahasa yang digunakan ini akan dirasakan seorang muslim ketika memahami pesan Al-Qur`an dan Hadits. Hal ini telah disadari oleh para ulama (ilmuan Muslim) sejak lama. Poin inilah di antara penyebab munculnya istilah makkiyah-madaniyah, asbab an-nuzul dan lainnya dalam kajian Qur`an ('ulum al-Qur`an). Para ulama sejak awal menyadari pentingnya pemahaman terhadap "konteks" dalam menyelami makna yang dikandung oleh nash/teks Al-Qur`an. Kesadaran urgensi konteks dalam memahami nash/teks ini dapat disebut sebagai kesadaran hermeneutik.
Urgensi Hermeneutika
Pemahaman hakiki terhadap ide-ide yang terkandung dalam Al-Qur`an tentu hanya Allah yang paling tahu. Dalam ungkapan para ulama, "Wallahu a'lam bi muradihi" (Allah yang paling mengetahui maksudnya). Manusia hanya diberi sedikit sekali kemampuan untuk memahami ilmu Allah yang maha dalam dan luas. Ilmu Allah yang maha luas dan dalam itu sebagiannya terabstraksikan penyampaiannya melalui bahasa manusia sendiri, yaitu bahasa Arab. Sebagian lain terabstraksikan melalui ciptaan (manusia dan alam semesta).
Untuk sampai kepada pemahaman makna hakiki ide-ide yang terkandung dalam nash ini, perangkat metodologis pertama yang digunakan tentu saja ilmu bahasa sendiri. Dalam studi Islam (Dirasah Islamiyah) penggunaan ilmu bahasa ini dikenal dengan pendekatan bayani (pendekatan tekstual). Namun memahami Al-Qur`an dan Hadits dengan ilmu bahasa saja, ternyata tidak berhasil untuk sampai kepada pemahaman makna hakiki yang terkandung dalam nash. Ilmu bahasa barulah tangga pertama. Tangga selanjutnya diperlukan metodologi yang diikhtiarkan menyampaikan "pembaca" kepada makna hakiki. Di fase inilah disadari kebutuhan kepada pembacaan yang bersifat "hermeneutik", yaitu membaca nash/teks dalam arus analisis sirkuler-trialektis "autor", "konteks" dan teks. Dalam kajian Islam, penggunaan analisis hermeneutik terhadap nash/teks ini, dan juga analisis lain seperti analisis sosiologis, antropologis, historis, dan lainnya disebut sebagai analisis dengan pendekatan burhani.
Konteks adalah keadaan dan situasi sosial-historis-psikologis ketika teks/nash pertama kali disampaikan kepada manusia melalui seorang Nabi pilihan. Sementara autor adalah "pengarang" atau pemilik pesan itu sendiri yaitu Allah SWT. Pemahaman terhadap teks, autor dan konteks secara trialektis akan mengarahkan dan menggiring pembaca kepada kedalaman makna yang tanpa batas. Pemahaman ontologis yang memadai terhadap autor yang memproduksi teks akan melindungi keserampangan pembaca ketika menarik pemahaman yang berasal dari teks dan konteks. Dengan demikian, pembacaan hermeneutika terhadap agama memandu analisis pembaca untuk senantiasa menganalisis teks/nash dalam lingkaran teks-autor-konteks. Dari lingkaran hermeneutik ini diikhtiarkan untuk memperoleh pemahaman agama yang lebih utuh dan komprehensif. Namun demikian, penting dicacat bahwa pemahaman hermeneutik ini masih pemahaman pada ruang rasional. Belum masuk ke pemahaman yang mistis-intuitif ('irfani). Untuk pemahaman yang menukik sampai kepada hakikat pengetahuan agama maka mesti dipadulanjutkan dengan penerapan pendekatan 'irfani (sufistik).
Penutup
Pendekatan hermeneutika penting dalam memahami agama karena agama disampaikan melalui medium nash/teks suci yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah. Nash/teks yang berfungsi mengartikulasikan makna/pesan dari Tuhan, dipahami terkait secara psiko-sosiologis dengan autor (pembuat teks) dan konteks (situasi dan kondisi sosial-psikologis saat teks muncul). Nash atau teks saja dipandang tidak mampu secara memadai menyimbolkan makna yang terkandung dalam teks. Jika hanya bergantung kepada teks, maka para pembaca teks tidak akan mendapatkan pemahaman yang tepat terhadap makna yang dikandungnya. Oleh karena itu, diperlukan pula analisis terhadap autor dan konteks secara sirkuler-dialektis. Wallahu a'lam.
Danau Toba, diporet dari pinggir jalan menuju Medan.


0 comments: