KEHARUSAN KONTEMPLASI MAKNA RUHANIAH DALAM SHALAT
Jika shalat hanya rasionalisasi dan interpretasi, lalu nihil kontemplasi, maka shalat akan sulit memberi nilai kepada pelakunya. Shalat dapat menjadi hanya sekedar tradisi ritual yang kosong nilai-nilai taqarrub (kedekatan, keintiman, dan cinta) kepada Allah SWT.
*******
Kontemplasi (perenungan) ruhaniah bermakna upaya memahami makna terdalam objek-objek ruhaniah (spiritual), apakah objek tersurat atau tersirat. Dalam konteks tulisan ini, objek ruhaniah dimaksud adalah lafaz-lafaz bacaan, litani dan gerak ibadah shalat. Tanpa kontemplasi terhadap makna lafaz yang dibaca, litani dan gerak dalam shalat, maka akan sulit bagi seorang hamba untuk memperoleh dan merasakan nilai-nilai spiritual dalam ibadah yang sangat penting ini. Berpijak kepada pemahaman teoritis seperti inilah dapat dipahami mengapa ada orang yang tampak rajin shalat ---yang seyogianya terhindar dari perbuatan keji dan munkar--- namun tetap tidak mampu menjaga dirinya dari perilaku keji dan munkar. Problem utamanya tentu saja karena aspek kontemplasi ini terabaikan saat shalat.
Ungkapan firman Allah "inna sh-shalata tanha 'ani l-fahsya'i wa l-munkar" (sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar [Al-Ankabut: 45]) mesti diposisikan sebagai grand theory, malah lebih dari itu menjadi meta grand theory bagi keilmuan umat Islam tentang shalat. Oleh karena itu, mesti ditegaskan bahwa hamba yang selalu shalat, namun tetap tidak mampu menjaga dirinya dari perbuatan keji dan munkar, maka dipastikan bahwa ada yang salah dalam shalatnya. Kesalahan dimaksud boleh jadi dalam pengamalan atau dalam pemahaman, atau dalam pemaknaan atau pada ketiga-tiganya.
Kontemplasi dalam ibadah shalat ini sesungguhnya tuntutan dan tuntunan dari Rabb semesta alam. Renungkanlah misalnya ayat Al-Qur`an surat Al-A'raf ayat 55, 56, dan 205, dan lainnya. Dalam ayat-ayat dimaksud Allah SWT menitahkan agar setiap kali menyeru Allah dalam zikir dan doa dilakukan dengan rendah hati, uangkapan bahasa yang lembut, rasa takut namun penuh harap, tidak dengan ungkapan suara kasar, bersungguh-sungguh, dan lainnya.
Jika shalat hanya rasionalisasi dan interpretasi, lalu nihil kontemplasi, maka shalat akan sulit memberi nilai kepada pelakunya. Shalat dapat menjadi hanya sekedar tradisi ritual yang kosong nilai-nilai taqarrub (kedekatan, keintiman, dan cinta) kepada Allah SWT.
Atas dasar berpikir demikianlah dapat ditegaskan bahwa pemahaman tentang shalat tidak cukup hanya dengan ilmu fiqh yang tergolong sebagai ilmu rasional dan praktis. Diketahui, fiqh hanya berisi penjelasan tentang kaifiyat (tata cara), juz'iyyat, (rincian) dan hai'at (tingkah pola) ibadah. Oleh sebab itu diperlukan pendekatan 'irfani (sufistik) agar aspek ruhaniah/spiritualitas ibadah utama ini dapat dimasuki dan diselami. Dengan kombinasi ilmu fiqh dan ilmu tasawuf, maka ibadah shalat akan dapat dipahami secara utuh. Wallahu a'lam.
__________________
Gambar:
Sudut Jembatan Penyeberangan ke Pulau Samosir


0 comments: