JANGAN KESAMPINGKAN QALBU (HATI) DALAM MENALAR ILMU PENGETAHUAN

Pemikiran, pemahan dan konsep Filsafat Ilmu dan Sains yang masuk ke perguruan tinggi agama lebih didominasi konsep-konsep yang mengenyampingkan qalbu dalam membaca dan memahami objek ilmu pengetahuan. Bahkan kasus ini tidak saja menimpa ilmu-ilmu rasional (sains, sosial dan lainnya), tapi juga ilmu-ilmu keagamaan.

Peradaban Barat sejak masa renaissance memang telah menafikan qalbu (hati) sebagai salah satu elemen psikis manusia dalam memperoleh dan mencari ilmu. Hal ini sebagai dampak lebih lanjut visi materialisme peradaban yang dimiliki dan dikembangkan oleh Barat. 

Filsafat Barat melihat manusia sebagai makhluk mekanik atau makhluk "mesin" yang seluruh organ dan elemen dirinya hanyalah jalinan sistemik yang bersifat mekanik. Mereka memahami akal tak lebih dari sistem mekanik otak. Sementara qalbu (hati) mereka pahami hanyalah sinyal-sinyal listrik yang dikirim oleh otak ke dada. Menurut Barat, fakultas (elemen) lain manusia selain otak dalam memperoleh ilmu pengetahuan adalah empiri (indra). Dengan demikian, dalam perspektif Barat fakultas (elemen) manusia dalam memperoleh ilmu hanya akal dan indra (rasio dan empiri).

Umat Islam tidak sepatutnya menelan mentah-mentah visi materialisme dan mekanistik tersebut, karena bertentangan dengan natur sesungguhnya manusia sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran. Natur manusia terdiri dari jism (jasmani),  nafs (jiwa), akal, hati dan ruh. Sementara elemen penting manusia dalam mencari dan memperoleh ilmu ---menurut Al-Quran--- adalah qalbu, akal dan indera. 

Bagaimana Qalbu Bekerja dalam memperoleh ilmu pengetahuan?

Jika akal (rasio) menalar objek dengan cara  menganalisa, mengkritisi, menilai dan menyimpulkan, maka qalbu memahami objek dengan cara merasakan, menyadari,  menghayati dan memaknai dengan kesadaran rabbaniyah (ketuhanan). Karena qalbu memang bersifat rabbaniyah

Seorang Muslim yang mempelajari atau meneliti sains, maka pembacaannya tidak boleh berhenti hanya pada pembacaan akal dan indra terhadap fakta-fakta empirik. Dengan qalbu-nya ia harus melanjutkan pemahaman yang dalam untuk meyelami dimensi Kemahabesaran Allah pada fakta-fakta sains yang empirik dimaksud. Upaya qalbiyah (penalaran hati) yang bersifat mistis-intuitif ini dilakukan sebagai tindak lanjut kesadarannya bahwa yang dipelajarinya itu adalah ayat-ayat Allah (ayat kauniyah). Sekaligus dalam hal ini seorang Muslim menunjukkan bentuk pemaduan zikir dan pikir dalam memahami ciptaan Allah SWT.

Dengan cara demikian, maka qalbu membawa pengetahuan rasional dan empirikal ke tingkat pemaknaan yang tinggi, indah dan berseri yaitu pengetahuan 'irfani.  Pengetahuan 'irfani ini adalah pengetahuan tentang hadhrat rububiyah (hadirat Ketuhanan), yang hanya dapat dicerna dengan baik oleh qalbu yang terus disucikan.

Oleh karena itu, dalam hal penyucian qalbu ini sama saja antara ahli agama dan ahli sains. Jika hati mereka sama-sama suci, maka mereka akan mendapat anugerah ilmu yang tinggi akan makna-makna ilahiyah tentang apa yang mereka pelajari. "Yu'til hikmata man yasya' waman yu'tal hikmata faqad utiya khairan katsira, wama yadzdzakkaru illa ulul albab" (Allah memberi hikmah kepada orang yang ia kehendaki, siapa yang diberi hikmah maka ia memperoleh kebajikan yang melimpah. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat (ulul albab). QS Al-Baqarah: 269). Wallahu a'lam.

0 comments: