PEMAHAMAN AGAMA TIDAK CUKUP HANYA DENGAN PENDEKATAN KEBAHASAAN (BAYANI)
Kajian Islam di kelas-kelas perkuliahan pada perguruan tinggi keagamaan tampaknya masih sangat dominan dengan pendekatan kebahasaan (bayani). Pendekatan model ini meskipun cepat dan praktis mendapatkan jawaban, namun sering tidak memuaskan dahaga intelektual. Dalam banyak kasus, jawaban yang hanya dengan pendekatan bayani sering tidak up to date dengan kebutuhan zaman. Hal ini karena kesimpulan yang diberikan belum didasarkan kepada metodologi yang kokoh dan komprehensif. Tidak saja itu, bahkan terkadang kesimpulan bayani ini membingungkan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip akal sehat. Untuk menyebut contoh, pemahaman tentang makna hadits Nabi Saw, "Berbedalah dengan Yahudi dan Nasrani, cukurlah kumismu dan panjangkan jenggotmu."
Tidak sedikit ustad memahami maksud hadits ini sebagai suatu perintah wajib mencukur kumis dan memanjangkan jenggot. Jika perintah ini tidak diamalkan, maka menurut mereka akan berdosa. Hal demikian karena orang seperti ini dipandang mengingkari Sunnah. Lebih jauh orang ini dipandang tidak layak jadi teladan ummat, sebab ia dipandang berkpribadian Yahudi atau Nasrani.
Jika pandangan demikian ini disimpulkan sebagai suatu kebenaran, maka dapat dinyatakan bahwa pembeda kepribadian Muslim dan Non Muslim itu adalah hal-hal yang bersifat pisik-jasmaniyah. Kesimpulan seperti ini tentu saja bertentangan dengan inti pesan keislaman yang paling esensial yaitu sikap tunduk, taat, pasrah dan patuh kepada Allah SWT.
Urgensi Pendekatan Burhani
Oleh karena itu, pendekatan bayani harus dibarengi dengan pendekatan burhani. Secara bahasa burhan artinya bukti. Bukti yang dimaksud di sini dapat berupa bukti historis, sosiologis, antropologis, santifik, dan bukti empirik lainnya. Harus dipahami bahwa bahasa hanyalah "simbol makna atau arti". Sementara makna atau arti yang sebenarnya itu ada dalam "realitas" yang dibahasakan atau dinarasikan. Sebagai contoh, ketika seorang ulama menuliskan tentang shalat khusyuk dalam sebuah karya, maka ulama dimaksud sedang menggunakan "bahasa" untuk menjelaskan realitas shalat khusyuk. Hal ini menandakan bahwa shalat khusyuk itu memang ada wujudnya. Wujud empirik shalat khusyuk dimaksud dapat dilihat dalam praktik Nabi Saw dan para sahabat utama melalui Hadits dan Atsar dan pada diri ulama-ulama yang shaleh. Di sisi lain, ada pula yang disebut dengan wujud abstrak berupa "ide tentang shalat khusyuk". Ide tentang shalat khusyuk ini dapat dipahami sebagai "material abstrak" yang realitasnya ada dalam pikiran. Bahasa berupaya mengungkapkan atau menarasikan realitas shalat khusyuk yang ada dalam wujud empirik dan wujud abstrak dimaksud.
Jika pendekatan bayani menggunakan kaedah-kaedah bahasa dalam memahami suatu realitas yang dibahasakan oleh teks, maka pendekatan burhani melengkapinya dengan cara melihat objek kajian dari sisi empirikal realitas yang dibicarakan oleh teks dimaksud. Dengan demikian, ketika seorang pengkaji mencoba memahami makna kebahasaan teks suatu kitab misalnya tentang shalat khusyuk, maka ia dimestikan pula untuk melanjutkan pertanyaan-pertanyaan tentang aspek-aspek pengalaman empirikal dan historikal Nabi Saw, para sahabat, ulama-ulama shalih dalam melakukan shalat yang khusyuk. Pertanyaan tentang aspek-aspek empirikal ini tentu membutuhkan pertanyaan-pertanyaaan antropologis, psikologis, filosofis, historis dan bahkan mistis (sufistik). Pada tahap ini, seorang mengkaji telah melakukan pendekatan burhani. Dengan demikian pendekatan burhani menghendaki pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, filosofis, historis, saintifik, dan sebagainya.
Pendekatan 'Irfani sebagai Penyempurna Akhir (Puncak)
Secara bahasa 'irfani dari kata 'arafa. Kata 'arafa semakna dengan ma'rifah, yaitu pengetahuan. 'Irfani secara bahasa artinya "pengetahuan" atau "bersifat pengetahuan". Hanya saja pengetahuan di sini berbeda dengan ilmu pengetahuan biasa (rasional). 'Irfani atau ma'rifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung yang bersifat spiritual atau ilhami (intuitif). Pengetahuan ini adalah pengetahuan hati (qalbiyah), bukan pengetahuan 'aqliyah (rasional).
Pengetahuan indra dan akal yang berupa pengetahuan bayani dan burhani terbatas pada pengetahuan tentang makna atau arti sesuatu (objek) yang bersifat rasional ('aqliyah). Pengetahuan model ini tidak sampai ke batas pengetahuan yang indah, sempurna dan utuh. Contoh, pengetahuan tentang shalat. Untuk sampai kepada pengetahuan tertinggi berupa pengetahuan tentang makna hakiki shalat maka diperlukan pengetahuan 'irfani.
Secara epistemologis pengetahuan 'irfani diperoleh melalui penalaran hati. Penalaran hati dilakukan dengan cara "meraskan", "meresapi" dan menjiwai penomena atau objek pengetahuan. Pengetahuan 'irfani merupakan pengetahuan tertinggi yang menunjukkan bentuknya dalam rupa spiritualitas atau mistis-intuitif. Spesifikasi pengetahuan ini bersifat individual murni, spiritual dan sangat mendalam.
Hasil penerapan pendekatan 'irfani dalam memahami objek, misalnya shalat, akan mengantarkan si pencari kepada suatu bentuk pengetahuan paripurna. Wujud objektif pengetahuan yang dimiliki merupakan gabungan (kombinasi integratif) pengetahuan indrawi, pengetahuan rasional (fiqh) dan pengetahuan spiritual ('irfani).
Seseorang yang telah sampai kepada pengetahuan 'irfani, secara afeksi tampak pada sikap istiqamah, ikhlas, tawadhu', tadharru', dan tasamuh (luas, lapang dan toleran) dalam hal pemahaman agama, misalnya pemahaman tentang shalat. Sebaliknya jika pengetahuan shalatnya baru pengetahuan indrawi dan rasional, maka secara afeksi ia akan menunjukkan keangkuhan, kekakuan, dan kesempitan dalam hal ibadah shalat. Secara praktis, ia sering terjebak kepada kategori pemahaman yang hitam-putih, bid'ah-sunnah, dan sebagainya. Ia amat kesulitan melihat kategori lain di dalamnya. Alhasil, ia jatuh kepada sikap dan prilaku beragama yang kaku dan sempit serta merasa benar sendiri. Allahu a'lam.
0 comments: