MSI: PERENNIAL QUESTIONS BAGIAN I
NO |
PERTANYAAN |
JAWABAN |
1. |
Apa nama lain Studi Islam? |
Nama lain studi Islam adalah dirasah
islamiyah (Arab), Islamic studies (Inggris). |
2. |
Apa yang dimaksud dengan studi Islam? |
Studi Islam adalah kajian ilmiah tentang Islam. Maksudnya Islam
dijadikan sebagai objek kajian, yang dalam penerapannya menggunakan
kaedah-kaedah ilmu terkait, seperti bahasa, sosiologi, sejarah, antroplogi,
filsafat, dll. |
3. |
Jelaskan perbedaan wilayah keagamaan dan wilayah keilmuan/kajian
dalam studi Islam? |
Wilayah keagamaan disebut juga wilayah ajaran, yaitu Al-Qur`an dan
As-Sunnah (Al-Hadits). Sedangkan wilayah keilmuan adalah keseluruhan
pembahasan atau kajian terhadap nash/teks Al-Qur`an dan As-Sunnah (Al-Hadits)
yang dilakukan sepanjang masa. |
4. |
Apa contoh wilayah kajian/keilmuan itu? |
Contohnya adalah karya-karya para ulama (ilmuan Muslim) tentang Islam,
sejak masa klasik hingga masa kini.
Misalnya Tafsir al-Qurthubiy karya Imam Qurthubiy (bidang Tafsir); Al-Ibanah
‘an Ushuli Ad-Diyanah karya Abu Hasan Al-Asy’ari (bidang Ilmu Kalam); Al-Milal
wa an-Nihal karya Al-Syahrastani (bidang Ilmu Kalam), Ar-Risalah karya
Imam Asy-Syafi’i (bidang Ushul Fiqh), Maqashid al-Falasifah karya Imam
Ghazali (bidang filsafat), Ihya` ‘Ulum ad-Din karya Imam Ghazali
(berbagai bidang ilmu keagamaan), Fushus al-Hikam karya Ibnu
‘Arabi (bidang tasauf), Risalah
Qusyairiyah karya al-Qusyairi (bidang Tasauf), Minhaj al-‘Abidin karya
Imam Nawawi (bidang Fiqh), dll. |
5. |
Bagaimana seorang pengkaji Muslim (mahasiswa/sarjana) memandang dan
meyakini wilayah ajaran (keagamaan)? |
Ia memandang dan meyakini wilayah ajaran (keagamaan) sebagai sesuatu
yang bersifat mutlak atau absolut. Dalam ungkapan lain sebagai sesuatu yang shâlihun li kulli zamân wa makân (cocok/relevan sepanjang
waktu dan tempat/ruang). |
6. |
Bagaimana seorang pengkaji memandang wilayah studi/kajian/keilmuan? |
Ia memandang wilayah studi/kajian/keilmuan bersifat mutaghayyar atau
relative. Sebagai produk keilmuan, maka tidak ada karya ulama/ilmuan Muslim
yang sampai kepada kemutlakan pengetahuan atau ilmu, sebagaimana mutlaknya
ilmu Tuhan. |
7. |
Bagaimana sikap seorang pengkaji Muslim pada wilayah ajaran
(keagamaan)? |
Sikap seorang Muslim pada wilayah ajaran (keagamaan) adalah bersikap
subjektif, commited, taqlidi, dan menempatkan diri sebagai actor
(pelaku). |
8. |
Bagaimana sikap seorang
pengkaji Muslim pada wilayah studi/kajian/keilmuan? |
Sikap seorang pengkaji Muslim pada wilayah studi/kajian/keilmuan
adalah bersikap kritis, analisis, rasional, objektif dan memposisikan diri
sebagai observer (pengamat). |
9. |
Mengapa terjadi pengkudusan pemikiran atau pemahaman agama? |
Karena umat Islam, terutama kaum terpelajar dan sarjana Muslim
terlanjur memandang hasil-hasil pemikiran ulama klasik itu sebagai kebenaran yang sudah final. Ditambah
lagi ¾setelah
peradaban Islam zaman klasik jatuh¾
antara satu ulama ke ulama lainnya secara hirarkis mewariskan doktrin
keilmuan bahwa pendapat sebelumnya itu tidak tergantikan dan cukup diterima
secara taqlidi. Secara epistemologis, mereka menyamakan eksistensi wilayah
keagamaan dan wilayah kajian. Jadi mereka menyamakan eksistensi nash/teks
Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan hasil-hasil (produk) ilmu keagamaan. Sikap
menyamakan eksistensi nash dan hasil pemikiran itulah yang disebut
pengkudusan pemikiran agama itu. Lanjutannya, mereka memandang bahwa orang
yang mengkritisi atau menggugat pemahaman agama sebagai orang yang
mengkritisi atau menggugat agama. Pada hal, sesungguhnya, yang dikritisi atau
digugat itu adalah wilayah keilmuan/kajian. |
10. |
Bagaimana contoh kongkret gugatan dalam wilayah kajian itu? |
Contohnya gugatan terhadap konsep poligami yang dimiliki sebagian
umat Islam. Sebagian umat ini memahami bahwa konsep poligami itu bersifat
mutlak (fankihu mâ
thâba lakum minan
nisâ `i
matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a).
Bahkan mereka menyatakan, isteri yang tidak memperkenankan suaminya berpoligami
berarti tidak mengimani potongan ayat tersebut. Pemahaman seperti ini bagi
mereka bersifat kudus (sakral). Jika digugat, maka si penggugat itu telah
menggugat agama. Hamka, termasuk di antara ulama yang menggugat pemahaman demikian.
Menurut beliau konsep pokok relasi suami-istri dalam keluarga Muslim itu adalah
relasi monogamis. Tujuan syari’at berpoligami sesungguhnya adalah penyelamatan
kemanusiaan (li maslahatil ‘ammah). Jadi bukan tujuan-tujuan rendahan,
seperti tujuan nafsu-seksual. Pemahaman demikian ini muncul setelah
memperhatikan konteks ayat dan memahaminya secara utuh. Pada ayat dimaksud
Allah berfirman, “fa in khiftum an lâ
tuqsithû fi al-yatâmâ, fankihû mâ thâba lakum minan nisâ `i matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a
wa in khiftum an la ta’dilû
fa wâhidah…
Berdasarkan ayat ini, konteks syari’at
poligami itu adalah penyelamatan anak-anak yatim (diri dan harta mereka) yang
ditinggal mati ayah mereka karena syahid di medan perang. Oleh karena itu,
Allah menyuruh pria Muslim menikahi istri-istri yang memiliki anak-anak yatim
untuk tujuan-tujuan yang humanis. |
11. |
Jelaskan contoh gugatan dalam wilayah kajian fiqh! |
Contoh gugatan dalam bidang Fiqh yaitu tentang rukun shalat. Sebagian
umat Islam berpendapat bahwa rukun shalat itu berjumlah tiga belas. Konsep
ini telah mengalami sakralisasi. Menurut pendukungnya, jika seseorang tidak
paham rukun shalat yang berjumlah tiga belas itu maka shalatnya tidak sah
(batal). Tiga belas macam ini bagi mereka sudah final. Tidak boleh lagi
diperdebatkan. Salah satu gugatan terhadap konsep rukun shalat itu muncul dari ulama
India, yaitu Waheeduddin Khan. Secara induktif, konsep tentang rukun sahalat
baru muncul pada abad ke-2 Hijriyah. Pada mulanya tidak ada batasan-batasan
konseptual tentang ibadah shalat yang bersifat kategoris. Memang, batasan-batasan
konseptual itu pada tingkat tertentu tetap ada sisi positifnya. Tetapi
menurut Waheeduddin Khan, secara teoritis dan praktis, umat Islam telah
memisahkan dalam pikiran dan tindakan antara yang rukun dan yang sunnat. Bentuk
pemahaman kategoris tentang ibadah shalat ini tidak terdapat pada generasi
Muslim awal. Akibat negatif formalisasi kategori-kategori konseptual itu
adalah terpinggirkannya dimensi sufistis ibadah shalat. Di India menurut
Khan, sebagian orang memahami shalat layaknya aturan berolah raga. Jadi ia
lebih terkonsentrasi kepada aspek fi’liyah (pisik) shalat dari pada aspek
qalbiyah/ruhiyah shalat. |
12. |
Apa akibatnya jika mahasiswa dan sarjana Muslim terjebak pada taqdis
al-afkar (pengkudusan pemikiran)? |
Akibatnya, mahasiswa dan sarjana Muslim jatuh kepada sikap syirik
dalam pemikiran. Disebut demikian, karena mereka telah menyamakan eksistensi
wahyu atau hadits shahih dengan eksistensi pemikiran/pemahaman. Akibat
lainnya, umat Islam akan terjauhkan dari semangat re-search (riset=
pencarian kembali). Konsekuensinya, umat Islam “mengharamkan” analisis,
kritisisme, gugatan, pencarian, riset terhadap hasil-hasil kajian
(pemikiran). Akhirnya pemikiran umat Islam mengalami kemandegan (jumud). |
13. |
Bagaimana kongkretnya taqdis al-afkar yang terjadi dalam sejarah
pemikiran umat Islam itu? |
Kongkretnya, ditandai dengan minimnya karya-karya baru yang segar dan
berbeda dengan karya-karya para ulama/sarjana Muslim pendahulu. Inilah yang
terjadi selama berabad-abad. Anatomi perkembangan pemikiran ilmu keagamaan
itu terpakemkan pada garis lurus yang tersakralkan secara top dawn, yaitu
Kitab IndukÞ
Syarah (komentar)Þ
Hasyiyah (commentary on commentary= komentar di atas komentar). Dalam garis lurus ini tidak berlangsung
re-search. Yang terjadi adalah penguatan (ta’qid) dari satu
pemikiran kepada pemikiran lainnya. Dalam sejarah pemikiran seperti inilah
terbentuk ortodoksi Sunni, yakni pelembagaan pemahaman (formalisasi
pemahaman) keagamaan yang dipandang final (taken for granted).
Akibatnya, siapa yang berani menggugat, maka akan “disoraki” sebagai
penggugat agama. |
14. |
Dalam menjadikan Islam sebagai objek kajian, maka Islam perlu
dibedakan kepada tiga bagian. Sebut dan jelaskan ketiga bagian itu! |
Pembedaan Islam kepada tiga bagian itu maksudnya adalah: Pertama,
Islam sebagai ajaran. Kedua, Islam sebagai pemahaman. Ketiga Islam sebagai
pengamalan. Islam sebagai ajaran bersifat mutlak/absolut. Dimensi ajaran ini tertuang
pada nash-nash /teks Al-Qur`an dan As-Sunnah as-Shahihah. Sedangkan
dimensi pemahaman adalah keseluruhan hasil interaksi akal manusia terhadap dimensi ajaran yang berwujud
karya-karya yang ditulis oleh ulama/sarjana Muslim sepanjang sejarah. Dimensi
pengamalan adalah keseluruhan praktik keislaman baik yang terekam dalam
sejarah, maupun yang sedang hidup (living Islam) pada masyarakat
Muslim dalam berbagai bangsa. Dimensi pemahaman dan pengamalan ini bersifat mutaghayyar/
relatif, yakni dapat berubah sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. Suatu pemahaman atau pengamalan (praktik keislaman) selalu berinteraksi
dengan nash-nash agama, konteks ruang dan konteks waktu. Akibatnya, hasil
pemikiran agama atau bentuk praktik keislaman pada suatu masa atau lingkungan
sosial, tidak relevan lagi diterapkan pada masa atau lingkungan sosial lain.
Hal inilah yang menjadi alasan objektif perlunya menghidupkan riset (re-search)
dalam kajian Islam. Contoh yang sangat gamblang adalah konsep tentang
kekhilafahan. Pada masa klasik ¾pasca
khulafa` al-rasyidin¾ justru kekhilafahan dalam Islam bersifat
dinasti atau monarki. Misalnya Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Konsep itu tidak
relevan hari ini. Oleh karena itu, untuk kasus Indonesia yang mayoritas
Muslim, telah disepakati bahwa konsep yang cocok dengan kita adalah NKRI.
Jadi NKRI itu bentuk kekhilafahan model Indonesia. |
0 comments: