KETELADANAN: KATA KUNCI MEMPERBAIKI AKHLAK MAHASISWA
Ada yang lebih penting dari sekedar usaha kita memonitor akhlak mahasiswa dan memberi sanksi jika mereka melakukan pelanggaran. Hal amat penting itu adalah memperkuat keteladanan (uswah) dan melakukan pendekatan fatherhood approach dan motherhood approach ketika kita melayani dan berinteraksi dengan mereka. Keteladanan dan pendekatan yang humanis ini akan sangat berhasil dalam menanamkan nilai-nilai akhlak mulia.
Tidak sedikit orang berhipotesis bahwa semakin banyak pengetahuan kognitif mahasiswa tentang akhlak mulia, maka akhlak mahasiswa akan semakin baik. Hipotesis ini memang perlu dibuktikan melalui penelitian. Namun, realitas yang kita saksikan bahwa tidak sedikit pula mahasiswa kita yang berlatar belakang pendidikan agama--- yang nota bene mengetahui secara kognitif batasan-batasan moral --- ternyata berprilaku buruk. Kenyataan ini perlu menjadi objek perenungan kita. Apa yang menjadi masalah di sini? Mengapa bobot kognisi mereka tentang akhlak tidak menambah bobot afeksi mereka?
Jawaban sementara yang dapat saya ajukan adalah sbb: Para penganjur nilai-nilai akhlak al-karimah belum memiliki secara utuh nilai-nilai dimaksud. Secara agak kasar, mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan.
Untuk menambah tingkat penerimaan kita terhadap jawaban sementara itu, marilah kita lihat dengan saksama Rasulullah Saw. Pujian Allah kepada beliau bukan pada kehebatan kognisi beliau,tetapi pada keagungan atau kemahaluhuran akhlak beliau. Dalam surat Al-Qalam Allah SWT berfirman: Wa innaka la'ala khuluqin azhim (Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung). Kekuatan utama beliau dalam membangun keadaban terletak pada kekuatan akhlak beliau.
Memberikan pengetahuan kognitif tentang akhlak tetap penting. Tetapi jika keteladanan (uswah) diabaikan, maka anjuran atau konsep-konsep akhlak yang kita berikan akan kehilangan spirit, sehingga tidak menyentuh hati mahasiswa. Wallahu a'lam. P. Sidimpuan, 20-9-2014.
Tidak sedikit orang berhipotesis bahwa semakin banyak pengetahuan kognitif mahasiswa tentang akhlak mulia, maka akhlak mahasiswa akan semakin baik. Hipotesis ini memang perlu dibuktikan melalui penelitian. Namun, realitas yang kita saksikan bahwa tidak sedikit pula mahasiswa kita yang berlatar belakang pendidikan agama--- yang nota bene mengetahui secara kognitif batasan-batasan moral --- ternyata berprilaku buruk. Kenyataan ini perlu menjadi objek perenungan kita. Apa yang menjadi masalah di sini? Mengapa bobot kognisi mereka tentang akhlak tidak menambah bobot afeksi mereka?
Jawaban sementara yang dapat saya ajukan adalah sbb: Para penganjur nilai-nilai akhlak al-karimah belum memiliki secara utuh nilai-nilai dimaksud. Secara agak kasar, mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan.
Untuk menambah tingkat penerimaan kita terhadap jawaban sementara itu, marilah kita lihat dengan saksama Rasulullah Saw. Pujian Allah kepada beliau bukan pada kehebatan kognisi beliau,tetapi pada keagungan atau kemahaluhuran akhlak beliau. Dalam surat Al-Qalam Allah SWT berfirman: Wa innaka la'ala khuluqin azhim (Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung). Kekuatan utama beliau dalam membangun keadaban terletak pada kekuatan akhlak beliau.
Memberikan pengetahuan kognitif tentang akhlak tetap penting. Tetapi jika keteladanan (uswah) diabaikan, maka anjuran atau konsep-konsep akhlak yang kita berikan akan kehilangan spirit, sehingga tidak menyentuh hati mahasiswa. Wallahu a'lam. P. Sidimpuan, 20-9-2014.
0 comments: