Hubungan Guru Murid Perspektif Hadis

Oleh: Anhar

I.       Pendahuluan

Hadis adalah sumber kedua bagi ilmu pendidikan Islam. Sumber pertama, tentu saja Al-Qur`an. Sebenarnya, antara Al-Qur`an dan Hadis tidak dapat dipisahkan. Munculnya hadis yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SِِAW pada hakikatnya suatu perwujudan (kongkretisasi) dan juga penjelasan dari wahyu Al-Qur`an yang beliau terima. Oleh karena itu secara ontologis, kedua sumber ini tidak dapat dipisahkan.

Ada kekhawatiran akademis, jika melihat sesuatu hanya dari sudut pandang Hadis akan mengebiri sudut pandang Al-Qur`an. Namun, realitas yang terjadi, alih-alih menunjukkan sudut pandang Al-Qur`an, ternyata ‘melupakan’ Hadis.

Tulisan ini akan mencoba melihat hubungan guru-murid dalam perspektif hadis dengan tetap berbasis pada world view Al-Qur`an. Maksudnya, pandangan dunia Al-Qur`an tentang pendidikan menjadi pijakan dalam kajian hubungan guru-murid dalam perspektif hadis.

Kajian ini pertama-tama akan menjelaskan perspektif teoritis ilmu pendidikan tentang hubungan guru murid, baru kemudian melakukan penelusuran terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan topik kajian, yang sekaligus melakukan penjelasan dan analisis hubungan guru-murid. Pada bagian akhir akan dibuat kata penutup sebagai simpulan kajian.

II.    Perspektif Teoritis

a. Teori-teori Interaksi

Di bawah ini akan dijelaskan dengan singkat teori interaksionisme simbolik, Coordinate Management of Meaning (CMM), Expectancy Violations Theory (EVT), analisis transaksional, dan dramaturgi.

Ralp LaRossa dan Donald C. Reitzes mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan tiga tema besar, yakni (1) Pentingnya makna bagi prilaku manusia, (2) Pentingnya konsep mengenai diri, dan (3) Hubungan antara individu dengan masyarakat.[1] Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer (1969) memiliki asumsi bahwa (1) manusia bertindak terhadap manusia lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka, (2) makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, (3) makna dimodifikasi dalam proses interpretif.[2]

Bloomer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah kepada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar.[3]

Teori berikutnya adalah Teori Coordinate Management of Meaning. Teori ini dikemukakan oleh W. Barnett dan Vernon Cronen. Mereka menyatakan bahwa “quality of our personal lives and of our social worlds is directly related to the quality of communication in which we engage.  Asumsi ini dikembangkan berdasarkan pandangan mereka yang menganggap bahwa percakapan adalah basic material yang membentuk dunia sosial.  Teori mereka, yaitu coordinate management of meaning (CMM), didasarkan pada pernyataan bahwa persons-is-conversations co-construkct their own social realities and are simultaneously shaped by the worlds they create.

Para pengguna CMM menyebut diri mereka sebagai social constructionist karena mereka berpegang pada asumsi bahwa lingkungan atau dunia sosial itu bukanlah sesuatu yang ditemukan begitu saja, melainkan sesuatu yang diciptakan, dibangun, atau dikonstruksi. Asumsi tersebut mengawali bahasan teori ini, yaitu bahwa  persons-is-conversations co-construkct their own social realities and are simultaneously shaped by the worlds they create.

Secara lebih rinci, dikatakan bahwa teori ini mengikuti beberapa prinsip berikut:

1.      Keterlibatan seseorang dalam sebuah percakapan adalah proses utama dalam kehidupan manusia. Menurut Pierce, komunikasi bukan sekedar aktivitas atau alat bagi seseorang untuk mencapai tujuannya, sebaliknya komunikasilah yang membentuk siapa diri mereka dan menciptakan hubungan (relationship) di antara mereka.[4]

2.      Cara seseorang berkomunikasi sering lebih penting dari pada isi pembicaraannya. Mood dan cara seseorang berkomunikasi memainkan peran yang besar dalam proses konstruksi sosial. Terkait hal ini, bahasa disebut Pierce sebagai salah satu alat yang paling powerful yang pernah ditemukan dalam penciptaan dunia social. Dengan menggunakan bahasa orang saling menyebut orang lain sebagai rasis, gila, buas dan sebagainya. Dengan bahasa pula orang bisa memilih untuk menyebut sebuah peristiwa sebagai sebuah tindak kejahatan atau hanya sebagai sebuah insiden, sakit jiwa dari pada gila, dan sebagainya.[5]

3. Reflexivity dipahami dalam arti bahwa setiap apa yang kita lakukan akan berbalik dan mempengaruhi kita. Tindakan seseorang dalam percakapan akan menentukan kelanjutan dari interaksi mereka.

4.      As social constructionist, CMM researchs see themselves as curious participants in a pluralistic world. Mereka penuh rasa ingin tahu karena mereka memandang konyol jika mengharapkan kepastian ketika berhadapan dengan tindakan individu di luar kehidupan mereka dalam kondisi yang selalu berubah.

Teori selanjutnya adalah Expectancy Violations Theory (EVT). Teori ini menjelaskan bahwa ruang personal sebagai ruang yang tidak terlihat dapat membatasi atau membebaskan seseorang untuk melakukan interaksi dengan orang lain. Ukuran dan bentuk ruang personal seseorang tergantung pada norma-norma budaya dan preferensi individual. Ruang personal selalu merupakan bentuk kompromi antar kebutuhan untuk mendekat dan menghindar yang dimiliki untuk berafiliasi atau privasi.[6]

Teori terakhir adalah Teori Analisis Transaksional. Teori ini diperkenalkan oleh Eric Berne, seorang psikiater Amerika. Dalam konteks komunikasi, Analisis Transaksional (AT) dapat diartikan sebagai upaya mengurai secara sistematis proses pertukaran pesan yang bersifat timbal balik di antara pelaku komunikasi yang kesemuanya merupakan cerminan struktur kepribadian seseorang. AT dapat diartikan sebagai cara untuk memahami perilaku diri sendiri  dan orang lain dengan menganalisis transaksi atau interaksi yang terjadi antarindividu. Lewat AT maka akan diketahui apa yang sesungguhnya terjadi dalam diri individu ketika berkomunikasi dengan orang lain. Transaksi (atau komunikasi) – sebagaimana dikatakan Berne, merupakan unit dasar dalam hubungan sosial (Transaction is the fundamental unit of social intercourse).

Transaksi terjadi ketika dua orang atau lebih bertemu, misalnya mereka akan saling menyapa atau membuka perbincangan. Transaksi ini berlangsung dalam sebuah suasana di mana masing-masing partisipan komunikasi memberikan stimulus sekaligus juga merespon stimulus. AT bisa dianggap sebagai metode yang mengamati sebuah transaksi atau peristiwa komunikasi di mana seseorang melakukan sesuatu pada yang lain, dan yang lain memberikan balasan terhadap tindakan orang itu.[7]

b. Hubungan Guru Murid (Interaksi Edukatif)

Dalam ilmu pendidikan, hubungan guru murid disebut juga interaksi edukatif. Dalam perspektif ilmu komunikasi, interaksi ini melibatkan guru sebagai komunikator dan murid sebagai komunikan. Hubungan kedua subjek ini biasanya mengintegrasikan sesuatu, yang dikenal dengan istilah pesan (message).[8] Agar pesan itu sampai dengan efektif maka diperlukan media atau saluran (channel). Dengan demikian, ada empat unsur dalam hubungan atau komunikasi ini, yaitu komunikator, komunikan, pesan dan media. Dalam konteks hubungan guru murid, keempat unsur itu akan selalu ada.

Dari segi istilah, perkataan komunikasi berarti “berpartisipasi”, “memberitahukan”, “menjadi milik bersama”. Dengan demikian, secara konseptual, istilah komunikasi itu sendiri mengandung pengertian memberitahukan (dan menyebarkan) berita, pengetahuan, pikiran-pikiran, nilai-nilai, dengan maksud untuk menggugah partisipasi agar hal-hal yang diberitahukan itu menjadi milik bersama.[9]

Memperhatikan pengertian di atas, maka dalam komunikasi berisi sebagian dari pekerjaan mendidik dan atau mengajar. Dalam interaksi guru dan murid, komunikasi menjadi faktor utama. Hanya saja komunikasi yang berlangsung bukanlah komunikasi seperti biasa terjadi di tengah manusia, karenanya disebut komunikasi atau interaksi edukatif.

Apa sesungguhnya interaki edukatif? Sardiman A.M., mengatakan interaksi yang dikatakan sebagai interaksi edukatif apa bila secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, yakni mengantarkan anak didik kearah kedewasaannya. Jadi dalam hal ini, yang penting bukan interaksinya, tetapi yang pokok adalah maksud atau tujuan berlangsungnya interaksi itu. Karena tujuan menjadi hal pokok, maka kegiatan interaksi itu memang direncanakan atau disengaja.[10]

Proses belajar mengajar sebagai inti dari kegiatan belajar mengajar merupakan proses interaksi dua unsur manusiawi, yakni guru sebagai pihak yang mengajar dan siswa sebagai pihak yang belajar. Dalam situasi ini, siswa menjadi subjek pokoknya.  Hal ini bermakna, bahwa interaksi yang sengaja diciptakan berfokus pada kebutuhan dan kemampuan belajar siswa.[11]

Dalam proses interaksi siswa dengan guru, dibutuhkan komponen-komponen pendukung. Komponen-komponen dimaksud merupakan ciri-ciri interaksi belajar mengajar yaitu:[12]

  1. Interaksi belajar-mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu.

  2. Ada suatu prosedur jalannya interaksi yang direncanakan dan didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

  3. Interaksi belajar-mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Dalam hal ini, materi didesain sedemikian rupa sehingga benar-benar untuk mencapai tujuan.

  4. Ditandai dengan adanya aktivitas siswa. Sebagai konsekuensi bahwa siswa merupakan sentrak, maka aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi belajar-mengajar.

  5. Dalam interaksi belajar-mengajar, guru berperan sebagai pembimbing.

  6. Di dalam interaksi belajar-mengajar dibutuhkan disiplin. Disiplin dalam interaksi belajar mengajar ini diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati  oleh semua pihak dengan sadar, baik pihak pendidik maupun peserta didik.

  7. Ada batas waktu. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam system berkelas (kelompok siswa), batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan. Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan itu harus sudah tercapai.


Di samping beberapa ciri yang disebutkan di atas, maka unsur penilaian merupakan hal yang sangat penting. Penilaian akan memberi gambaran apakah suatu tujuan yang hendak dicapai telah menunjukkan hasil yang maksimal. Penilaian juga akan berfungsi sebagai identifikasi keberhasilan belajar siswa.

III.       Hubungan Guru Murid Perspektif Hadis

Sebelum lebih jauh penulis memaparkan hubungan guru-murid perspektif hadis, maka perlu penulis tegaskan bahwa kajian di seputar ini sama saja dengan membicarakan etika guru-murid perspektif hadis. Disebut demikian, karena pembicaraan ini pasti menyangkut hubungan atau interaksi bernilai positif guru-murid. Interaksi bernilai positif tentu sama saja dengan interaksi etis guru-murid. Oleh karena itu, kajian hubungan guru-murid sama artinya dengan etika guru-murid.

Kajian ini akan didasarkan kepada suatu perspektif bahwa Nabi SAW dalam hal ini sebagai contoh guru sempurna. Oleh karena itu, interaksinya dengan para sahabat menjadi fokus pembahasan ini. Secara lebih rinci, bagaimana Nabi memberlakukan para sahabat yang nota bene muridnya, mendidik mereka, berbicara kepada mereka, menyayangi mereka dan menjalin persahabatan dengan mereka.

Di antara point penting hubungan guru-murid perspektif hadis sebagai berikut:

a.      Menjadikan diri guru sebagai suri tauladan yang baik kepada murid

Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Anak memandang pendidik sebagai figure terbaik, yang tindak-tanduk dan sopan-santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru. Bahkan perkataan, perbuatan dan tindak-tanduk guru akan senantiasa tertanam dalam kepribadian anak.

Menurut Nasih Ulwan, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan baik-buruknya anak. Ia menambahkan:

Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama. Begitu pula sebaliknya, jika pendidik adalah seorang pembohong, khianat, durhaka, kikir, penakut, dan hina, maka si anak akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka, kikir, penakut, dan hina.[13]

Allah SWT telah mengajarkan --- dan Dia adalah peletak metode samawi yang tiada taranya --- bahwa Rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah samawi kepada umat manusia, adalah seorang pendidik yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, moral maupun intelektual. Sehingga umat manusia meneladaninya, menggunakan metodenya dalam hal kemuliaan, keutamaan dan akhlak yang terpuji. Allah mengutus Nabi Saw sebagai teladan yang baik bagi kaum muslimin sepanjang sejarah, dan bagi umat manusia di setiap saat dan tempat, sebagai pelita yang menerangi dan purnama yang memberi petunjuk.[14] Allah berfirman dalam surat al-Ahzab/33 ayat 21:

لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة


Artinya:

Sesumngguhnya telah ada pada( diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.[15]

Dalam al-Ahzab/33 ayat 45-46 disebutkan sebagai berikut:

يا ايها النبي انا ارسلناك شاهدا ومبشرا ونذيرا وداعيا الى الله باذنه وسراجا منيرا


Artinya:

Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepad agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.[16]

Allah meletakkan pada diri Nabi yang mulia suatu bentuk yang sempurna bagi metode pendidikan yang islami, agar menjadi gambaran yang hidup dan abadi bagi generasi-generasi umat selanjutnya dalam kesempurnaan akhlak dan universalitas keagungan kepribadian.[17]

Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah, beliau berkata:[18]

حدثنا عبد الله حدثني ابي ثنا عبد الرزاق عن معمر عن قتا دة عن زرارة عن سعد بن هشام قال سالت عاءشة فقالت اخبرني عن خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت:  كان خلقه القران


Artinya:

...Akhlaknya adalah al-Qur`an.

Ungkapan Aisyah tersebut tentu tidak mengherankan karena karena Allah Yang Maha Sucilah yang telah mendidiknya secara langsung dalam suasana pendidikan yang mulia. Hal demikian sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan Askari dan Ibnu Sam’ani sebagai berikut:

ادبني ربي فاحسن تاءديبي


Artinya:

Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku.[19]

b.      Berbicara kepada murid dengan lembut dan wajah senyum

Nabi Saw mengajarkan supaya memilih kata-kata yang santun ketika berbicara kepada siapa pun, apalagi kepada murid-murid yang mendengarkan penyampaian ilmu dari seorang guru. Suatu hal yang memalukan bila seorang guru mengucapkan kata-kata yang seronok dan kurang baik kepada murid-murid. Juga suatu kesalahan jika seorang guru menganggap bahwa dengan kata-kata yang kurang santun akan membuat ia lebih dekat kepada para murid. Tindakan yang demikian akan berakibat dilecehkannya seorang guru oleh murid. Kata-kata yang indah dan menyentuh kalbu justru akan membekas lama dalam hati murid, dan akan membimbingnya dengan efektif. Rasulullah Saw bersabda:

حدثنا هناد حدثنا عبدة عن محمد بن عمر وحدثني ابي عن جدي قال: سمعت بلال بن الحرث المزني صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:  ان احدكم ليتكلم بالكلمت من رضوان الله ما يظن ان تبلغ ما بلغت فيكتب الله له بها رضوانه الى يوم يلقاه وان احدكم ليتكلم بالكلمت من سخط الله ما يظن  ان تبلغ ما بلغت فيكتب الله عليه بها سخطه الى يوم يلقاه


Artinya:

Sesungguhnya di antara kalian ada yang mengucapkan kata-kata (baik) yang diridhai Allah, dan tidak tahu kadar derajat kemuliaan kata-kata itu. Maka dengan kata-kata tersebut, Allah melimpahkan ridha-Nya kepada orang itu hingga hari perjumpaan nanti (Hari Kiamat). Dan sesungguhnya di antara kalian ada yang mengucapkan kata-kata (buruk) yang dimurkai Allah, dan dia tidak tahu kadar derajat kehinaan kata-kata itu. Maka dengan kata-kata tersebut Allah menetapkan murka-Nya kepada orang tersebut hingga hari perjumpaan nanti (Hari Kiamat).[20]

Seorang guru ketika menyampaikan ilmu dan melakukan interaksi edukatif kepada murid-muridnya hendaklah dengan raut wajah yang tulus dan senyum. Rasulullah Saw menjadi contoh sempurna tentang hal ini. Perihal senyum Rasulullah, Abu Darda` berkata:

حدثنا عبد الله حدثني ابي ثنا زكريا بن عدي انا بقية عن حبيب بن عمر الانصاري عن شيخ يكني ابا عبد الصمد قال سمعت ام الدرداء نقول: كان ابو الدرداء اذا حدث حديثا تبسم فقلت لا يقول الناس انك اي امحق فقال: <ما رايت او ما سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يحدث حديثا الا تبسم>


Artinya:

Tidak pernah saya melihat atau mendengar Rasulullah Saw mengatakan suatu perkataan kecuali sambil tersenyum.[21]

Jabir r.a. juga mengatakan sebagai berikut:

حدثنا احمد بن منيع حدثنا معاوية بن عمر وحدثنا زاءدة عن اسماعيل بن ابي خالد عن قيس عن جرير قال: <ما حجبني رسول الله صلى الله عليه و سلم منذ اسلمت ولا راني الا تبسم>


Artinya:

Rasulullah Saw tidak pernah terpisahkan dariku sejak aku masuk Islam, dan beliau tidak pernah melihatku kecuali sambil tersenyum.[22]

Raut wajah yang senyum menunjukkan ketulusan, dan memancarkan cahaya kebahagiaan kepada orang lain. Secara psikologis, murid-murid akan merasakan keceriaan dan kelapangan hati seorang guru ketika berinteraksi dengan mereka. Al-Quran memberi penegasan bahwa berhati lembut dan berkata santun di antara kunci kesuksesan mendidik manusia. Perkataan lembut bahkan dapat melembutkan hati yang keras. Sebagai contoh, Nabi Musa dituntun oleh Allah SWT agar menyampaikan perkataan yang lembut untuk menyampaikan pesan kebenaran kepada Fir’aun yang kejam. Allah berfirman dalam surat Taha/20 ayat 43-44:

هذهبا الى فرعون انه طغى () فقولا له قولا لينا لعله يتذكر او يخشى


Artinya:

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.[23]

Di samping itu, seorang guru juga tidak boleh tergesa-gesa dalam menyampaikan pesan-pesan pendidikan kepada para siswa. Karena hal ini akan membuat mereka sukar memahami dan mencerna perkataan guru. Hal ini sebagaimana hadis yang berasal dari Aisyah sebagai berikut:

حدثنا سليمان بن داود المهري أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب أ عروة بن الزبير حدثه


 : أن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم قالت ألا يعجبك أبو هريرة ؟ جاء فجلس إلى جانب حجرتي يحدث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم يسمعني ذلك وكنت أسبح ( أسبح أرادت أنها كانت تتنفل ) فقام قبل أن أقضي سبحتي ولو أدركته لرددت عليه إن رسول الله صلى الله عليه و سلم لم يكن يسرد الحديث مثل سردكم .


قال الشيخ الألباني : صحيح


Artinya:

…sesungguhnya Rasulullah Saw dalam berbicara tidak tergesa-gesa (hingga susah dipahami) seperti pembicaraan kalian.[24]

c.       Menunjukkan sikap lemah lembut dan kasih sayang kepada murid

Guru harus menunjukkan dirinya sebagai orang yang selalu memperhatikan dan mengupayakan kebaikan untuk para murid tanpa pamrih. Tidak membeda-bedakan mereka, meskipun latar belakang mereka sangat beragam. Kasih sayang guru tidak saja kepada murid yang patuh dan hormat, tetapi juga kepada murid yang nakal. Guru dalam konteks kasih sayang ini tidak akan pernah merasakan terhina dan rendah diri dihadapan guru. Nabi Saw banyak memberi contoh akan kasih sayang ini dan para sahabat mencontohnya. Kasih sayang yang mereka tunjukkan dipuji oleh Allah sebagai kasih sayang yang melebihi terhadap diri mereka sendiri. Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr/59 ayat 9:

ويؤثرون على انفسهم ولو كان بهم خصاصة ومن يوق شح نفسه فاولئك هم المفلحون


Artinya:

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.[25]

Sifat mengutamakan orang lain dalam kasih sayang ini adalah sifat Rasulullah SAW. Allah-pun menyebut beliau sebagai ‘ala khuluqin azim, yakni berada di atas akhlak yang luhur atau agung.  Sebagian di antara contoh kasih sayang yang luhur itu sebagai berikut:

حدثني زهير بن حرب حدثنا جرير بن عبدالحميد عن فضيل بن غزوان عن أبي حازم الأشجعي عن أبي هريرة قال


 : جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال إني مجهود فأرسل إلى بعض نسائه فقالت والذي بعثك بالحق ما عندي إلا ماء ثم أرسل إلى أخرى فقالت مثل ذلك حتى قلن كلهن مثل ذلك لا والذي بعثك بالحق ما عندي إلا ماء فقال ( من يضيف هذا الليلة رحمه الله ) فقام رجل من الأنصار فقال أنا يا رسول الله فانطلق به إلى رحله فقال لامرأته هل عندك شيء ؟ قالت لا إلا قوت صبياني قال فعلليهم بشيء فإذا دخل ضيفنا فأطفئي السراج وأريه أنا نأكل فإذا أهوى ليأكل فقومي إلى السراج حتى تطفئيه قال فقعدوا وأكل الضيف فلما أصبح غدا على النبي صلى الله عليه و سلم فقال ( قد عجب الله من صنيعكما بضيفكما الليلة )


 [ ش ( إني مجهود ) أي أصابني الجهد وهو المشقة والحاجة وسوء العيش والجوع ]


...Suatu ketika ada seorang tamu datang kepada Nabi SAW. Ketika itu seluruh istri beliau tidak memiliki apa-apa kecuali air. Maka Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang mau menjamu tamu ini, maka Allah akan merahmatinya.” Seorang laki-laki kaum Ansar berdiri dan berkata, “Saya akan menjamunya wahai Rasulullah”. Maka diajaknya tamu tersebut ke rumahnya. Sesampai di rumah dia berkata kepada istrinya, “Apakah engkau masih memiliki sesuatu? Sang istri menyahut, “Tidak, selain sedikit jatah buat anak kita.” Maka diapun berkata kepada istrinya, “Bujuk dan iming-imingi anak-anak dengan sesuatu, kemudian apabila tamu kita masuk rumah matikanlah lampu dan buatlah kesan bahwa kita juga sedang makan. Apa bila nanti tamu sudah siap makan, maka kamu segera mematikan lampu tersebut. Berkata perawi, “Mereka sekeluarga hanya duduk-duduk saja (tidak makan), sedangkan tamunya makan. Lalu pada pagi harinya orang tersebut datang kepada Rasulullah Saw. Nabi bersabda, “Allah takjub dengan tingkah kalian berdua terhadap tamu kalian tadi malam.[26]

 

Contoh lain adalah pengalaman Sa’ad bin ar-Rabi’ dengan Abdurrahman bin Auf ketika mereka dipersaudarakan oleh Rasulullah di Madinah. Abdurrahman mengisahkan sebagai berikut:

حدثنا عبد العزيز بن عبد الله حدثنا إبراهيم بن سعد عن أبيه عن جده قال قال عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه


 : لما قدمنا إلى المدينة آخى رسول الله صلى الله عليه و سلم بيني وبين سعد بن الربيع فقال سعد بن الربيع إني أكثر الأنصار مالا فأقسم لك نصف مالي وانظر أي زوجتي هويت نزلت لك عنها فإذا حلت تزوجتها قال فقال عبد الرحمن لا حاجة لي في ذلك هل من سوق فيه تجارة ؟ . قال سوق قينقاع قال فغدا إليه عبد الرحمن فأتى بأقط وسمن قال ثم تابع الغدو فما لبث أن جاء عبد الرحمن عليه أثر صفرة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( تزوجت ) . قال نعم قال ( ومن ) . قال امرأة من الأنصار قال ( كم سقت ) . قال زنة نواة من ذهب أو نواة من ذهب فقال له النبي صلى الله عليه و سلم ( أولم ولو بشاة )


…Ketika kami sampai di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan aku dengan Sa’ad bin ar-Rabi’. Maka Sa’ad bin ar-Rabi’ mengatakan: “Sesungguhnya aku adalah orang Anshar yang paling kaya, maka akan aku bagikan untukmu separuh hartaku, dan silakan kau pilih mana di antara dua istriku yang kau inginkan, maka akan aku lepaskan dia untuk engkau nikahi. Perawi mengatakan,”Abdurrahman berkata, “Tidak usah, aku tidak membutuhkan yang demikian itu….”[27]

 


Nabis SAW juga mengingatkan agar pendidik menunjukkan sikap lemah lembut kepada murid. Bukhari meriwayatkan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلاَمٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها أَنَّ يَهُودَ أَتَوُا النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكُمْ . فَقَالَتْ عَائِشَةُ عَلَيْكُمْ ، وَلَعَنَكُمُ اللَّهُ ، وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ . قَالَ « مَهْلاً يَا عَائِشَةُ ، عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ ، وَإِيَّاكِ وَالْعُنْفَ وَالْفُحْشَ »


Artinya:

            …hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras serta keji.[28]

Dalam hadis lain, al-Ajiri meriwayatkan:

عرفوا ولا تعنفوا


Artinya:

            Bersikaplah ma’ruf (baik) dan jangan kalian bersikap keras.[29]

Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah mengutusnya bersama Mu’adz ke Yaman, lalu beliau bersabda kepada mereka:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو سَمِعَهُ مِنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَهُ وَمُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ لَهُمَا « بَشِّرَا وَيَسِّرَا وَعَلِّمَا وَلاَ تُنَفِّرَا ».


Artinya:

...Gembirakan dan permudahlah. Ajarkanlah ilmu dan janganlah kalian berlaku tidak simpati.[30]

Berdasarkan hadis-hadis di atas, anak (peserta didik) --- dengan arahan nabawi ini --- harus dipandang sebagai tingkat usia yang harus mendapatkan pemeliharaan, kelemahlembutan, dan kasih sayang. Analisis ini akan lebih kuatk lagi jika dilihat apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw tentang sikap kasih sayang beliau kepada anak-anak.[31]

d. Sikap memuliakan, menghormati dan tawadhu’ kepada guru

Sebagai murid, maka guru harus diperlakukan lebih dari orang pada umumnya. Hal ini karena para guru sesungguhnya pewaris para Nabi. Para guru yang mengajarkan kebaikan kepada manuusia dido’akan oleh Allah dan para penghuni langit dan bumi. Para guru mewariskan kepada para muridnya ilmu, yang membuat murid mencapai pribadi utama. Nabi SAW mengatakan, dengan diwariskannya ilmu kepada murid, maka murid mendapat keberuntungan yang sangat besar. Nabi Saw bersabda:

أخبرنا يعقوب بن إبراهيم ثنا يزيد بن هارون ثنا الوليد بن جميل الكتاني ثنا مكحول قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : فضل العالم على العابد كفضلي على أدناكم ثم تلا هذه الآية { إنما يخشى الله من عباده العلماء } إن الله وملائكته وأهل سماواته وأرضيه والنون في البحر يصلون على الذين يعلمون الناس الخير


...Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya, para penghuni langit dan bumi, hingga semut yang ada di dalam tanah (di tempat tinggalnya) dan ikan hiu yang ada di dasar laut mendo’akan kepada orang  yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.[32]

Dalam hadis lain Rasulullah SAW menjelaskan:

حدثنا محمود بن خداش البغدادي حدثنا محمد بن يزيد الواسطي حدثنا عاصم بن رجاء بن حيوة عن قيس بن كثير قال : قدم رجل من المدينة على أبي الدرداء وهو بدمشق فقال ما أقدمك يا أخي ؟ فقال حديث بلغني أنك تحدثه عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أماجئت لحاجة ؟ قال لا قال أما قدمت لتجارة ؟ قال لا قال ما جئت إلا في طلب هذا الحديث ؟ قال فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول من سلك طريقا يبتغي فيه علما سلك الله له طريقا إلى الجنة وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضاء لطالب العلم وإن العالم ليستغفر له من في السموات ومن في الأرض حتى الحيتان في الماء وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواب إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر


قال الشيخ الألباني : صحيح


 Artinya:


Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena rida kepada pencari ilmu (mereka meletakkan sayap-sayapnya sebagai bentuk pengagungan kepada orang yang menuntut ilmu). Sesungguhnya makhluk yang ada dilangit dan di bumi hingga ikan-ikan paus yang ada di laut memintakan ampunan kepada Allah untuk orang yang berilmu. Keutamaan orang alim terhadap ahli ibadah seperti keutamaan rembulan terhadap semuan bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Dan para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu, maka dia telah mengambil keberuntungan yang sangat besar.[33]

 

Peran guru begitu besar untuk mengangkat murid dari kejahilan. Oleh karena itu sangat pantas mereka mendapat penghormatan dari murid-muridnya. Guru (bahasa Arab: mu’allim) bagaikan mengalirkan samudera ilmu di atas bumi yang tandus, dan membuat bumi jadi subur, dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan hijau, sehingga menghasilkan buah-buahan yang matang.[34]

Murid --- baik laki-laki maupun perempuan --- wajib memandang sang guru dengan pandangan penuh hormat, memuliakan, dan tawadhu`. Khalifah dan Quthub mengatakan:

Sungguh ke-tawadhu’-anmu kepadanya adalah keagungan dan kemuliaan yang ada pada dirimu. Oleh karena itu, hak seorang guru terhadap diri kita adalah mendapat penghormatan, didengarkan, tidak meninggikan suara di atas suaranya, dan tidak merendahkannya. Begitu juga, wajib bagi kita untuk mematuhi nasihat-nasihatnya dan merengkuh ridanya.[35]

Guru, bahkan bagaikan orang tua bagi murid. Karena memang guru telah menggantikan peran orang tua dalam hal mendidik atau membuat anak-anak beradab. Seorang penyair berkata:

Aku anggap guruku seperti orang tuaku

Kemuliaan dan keluhuran aku peroleh dari orang tuaku

Dia sang pembimbing rohku, dan roh adalah inti

Dia sang pembimbing jasadku, dan jasad seperti kulit kerang.[36]

Abuddin Nata dan Fauzan mengatakan bahwa murid hendaklah menghormati, memuliakan dan mengagungkannya karena Allah, dan berupaya menyenangkan hati guru dengan cara yang baik. Murid juga mesti bersikap sopan dan mencintai guru karena Allah, selektif dalam bertanya dan tidak berbicara kecuali setelah mendapat perkenan dari guru. Jika murid melakukan kesalahan kepada guru, maka segera mengakuinya dan meminta maaf  kepada guru.[37]

Ali karramallahu wajhah mewasiatkan tentang tatakrama murid kepada guru sebagai berikut:

Di antara hak yang harus kamu tunaikan kepada orang alim ialah memberikan salam penghormatan secara khusus, duduk di depannya, tidak memberi isyarat di sisinya dengan tangan, tidak sekali-kali memberi isyarat dengan mata, tidak sekali-kali mengatakan: “kata fulan” yang berseberangan dengan ucapannya, tidak mendahului di tempat duduknya, tidak memegangi bajunya, tidak terus mendesak ketika bosan, dan tidak jemu bergaul lama dengannya. Sesungguhnya orang alim itu laksana pohon kurma. Kamu melihat kapan jatuh sesuatu dari pohon itu kepadamu. Orang beriman yang alim itu lebih agung pahalanya dibanding orang yang berpuasa lagi berperang di jalan Allah. Jika orang alim mati, terjadilah keretakan tempat di dalam Islam yang tidak bisa ditambal dengan apa pun sampai hari kiamat.[38]

Penghormatan mereka terhadap seorang alim, bukan berarti kehilangan daya kritis mereka. Ibnu Abbas pernah berbeda pendapat dengan Umar, Ali dan Zaid bin Tsabit. Mereka mengambil ilmu dengan tulus dari siapa saja, tanpa melihat status social seorang alim. Al-Maliki mengatakan:

“Mereka juga mengambil ilmu dari ahlinya, bagaimanapun latar belakang atau keturunannya, seperti periwayatan mereka dari mawali (golongan hamba sahaya yang dimerdekakan). Sahabat Abu Bakar, Umar, Usamah, dan Ibnu Umar pernah meriwayatkan dari Bilal. Mereka bersegera kembali kepada kebenaran jika kebenaran terlihat dan diakui olehnya. Sikap Umar dalam ucapannya sangat jelas, “Perempuan itu benar dan Umar salah.” Kala seseorang melakukan gugatan kepada Ali r.a., dia berkata, “Kamu benar dan aku salah. Dan di antara tiap-tiap orang alim itu ada Zat Yang Maha Alim.”[39]

IV.  Konseptualisasi Hubungan Guru Murid Perspektif Hadis

Berdasarkan penjelasan atas, hubungan guru murid dapat dikonseptualisasi kepada bentuk hubungan humanis-teosentris. Disebut demikian, karena hubungan ini didasarkan kepada nilai-nilai ilahiyah yang hidup pada pola pikir, sikap dan prilaku Nabi Muhammad SAW. Nilai-nilai ini juga tentu sesuai dengan tabiat atau fitrah kejadian manusia. Paling tidak ada lima bentuk hubungan guru-murid yang dapat dikonseptualisasi dari Nabi Muhammad SAW sebagai contoh ideal seorang guru, yaitu:

Pertama, humanis. Dikatakan demikian karena Nabi SAW ketika berinteraksi dengan sahabat maupun kaum kuffar sungguh-sungguh menunjukkan pribadi beliau sebagai orang yang memperlakukan mereka sesuai dengan tabiat dan nilai kemanusiaan. Orang tidak pernah merasa terendahkan, terhina, terpojokkan, termarginalkan, dan sebagainya ketika  berinteraksi dengan Nabi. Dalam konteks belajar mengajar, Nabi SAW menunjukkan dirinya sebagai guru yang memperlakukan murid benar-benar dalam konteks penghargaan dan pemuliaan kepada nilai-nilai kepribadian murid, yakni nilai-nilai kemanusiaan universal.

Kedua, demokratis. Nabi SAW dalam interaksinya dengan para sahabat senantiasa memberi kebebasan dan kelapangan kepada siapa saja yang berhubungan dengan beliau. Beliau terhindar dari sikap-sikap memaksakan kehendak atau pendapat. Para sahabat merasakan, cara beliau memerintahkan sesuatupun tidak bernada paksaan. Dalam berbicara dengan sahabat, beliau menggunakan bahasa sesuai dengan kadar kemampuan sahabat ― yang nota bene anak didiknya ― menangkap pesan pendidikan dari beliau. Bahkan dalam sebuah hadis beliau mengatakan bahwa beragama yang benar adalah al-hanifiyat al-samhah, yakni beragama dengan dilandasi semangat pencarian kebenaran yang lapang, yakni tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa.

Ketiga, egaliter. Nilai-nilai egalitarian sangat dijunjung oleh Nabi SAW. beliau bahkan lebih mementingkan para sahabat dari pada diri beliau sendiri. Dalam konteks mendidik para sahabat, Nabi SAW mengingatkan para sahabat bahwa sikap mementingkan diri sendiri adalah bertentangan dengan sikap seorang muslim yang beriman. Orang beriman kepada Allah kata beliau adalah orang yang menyayangi (mencintai) saudaranya sebagaimana ia menyayangi (mencintai) dirinya sendiri.

Keempat, toleran. Nabi SAW mengajarkan kepada sahabat nilai-nilai toleransi yang tinggi. Sejak awal, pluralisme menjadi bagian yang hidup dalam pandangan dan sikap beliau. Para sahabat juga memiliki nilai toleransi yang agung ini, yang diajarkan oleh Nabi yang mulia. Nilai toleransi ini menjadi bagian yang hidup dalam peradaban Islam dari dulu sampai generasi muslim sekarang ini.

Dalam konteks pendidikan multikultural yang didengungkan saat ini, sesungguhnya Nabi SAW sebagai guru yang mulia, telah menanamkannya kepada para sahabat (generasi awal) Islam. Beliau mengutamakan penanaman nilai-nilai pendidikan multikultural melalui tindakan nyata, tidak hanya melalui ucapan.

Kelima, respektif. Nabi SAW sangat respek terhadap suka-duka para sahabat. Ia mendidik sahabat agar senantiasa responsif dan cepat bertindak untuk membantu atau memberi pelayanan kemanusiaan kepada mereka yang membutuhkan. Bahkan sikap respek ini dipandang Nabi sebagai kualitas manusia teladan (khairunnas). Beliau misalnya mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat kepada manusia lain.”

V. Penutup

Hubungan guru dan murid dalam perspektif hadis adalah pola hubungan yang humanis-teosentris atau sosio-spiritual. Dikatakan demikian karena hubungan ini terbentuk didasarkan atas relasi seorang yang melakukan misi pendewasaan (pendidik) terhadap mereka yang menjadi objek pendewasaan (siterdidik), dalam mana relasi ini berlangsung dalam konteks kesadaran dan tanggung jawab ilahiyah dan kenabian seorang pendidik.

Disebut tanggung jawab ilahiyah, karena seorang pendidik sesungguhnya bekerja untuk menerangi jalan murid, sehingga murid menemukan jalan hidup yang benar, yakni suatu jalan menuju Allah. Sedangkan tanggung jawab kenabian maksudnya adalah suatu tanggung jawab pejuang meneruskan misi kerasulan. Pejuang misi kerasulan ini tentu membutuhkan kesungguhan dan pengorbanan.

Seorang pendidik menurut hadis-hadis Nabi SAW adalah pelanjut misi kerasulan (pewaris Nabi). Sebagaimana Nabi adalah pemberi peringatan dan penyampai kabar gembira, maka para guru sesungguhnya pewaris Nabi untuk melanjutkan misi pemberi peringatan dan penyampai kabar gembira kepada para murid. Dalam tugas mendidik ini, maka pendidik akan berjuang dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan, dan ia rela mengorbankan apa saja untuk tugas suci yang mulia itu, persis sebagaimana para Nabi dan sahabat telah melakukannya.

Seorang guru akan memperlakukan muridnya dalam cinta dan kasih sayang seperti orang tua terhadap anaknya, dan murid memandang gurunya bagaikan orang tua (bapak-ibu) baginya. Wallahu a’lam.

 


 


DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah. Shahih Bukhari, Juz 7. Mesir: al-Matba’ah al-Amiriyah, 1313 H.

Ad-Darimi, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Abu Muhammad. Sunan ad-Darimi, Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1407 H.

Al-Hamidiy, Muhammad bin Futuh. Al-Jami’ baina al-Shahihain al-Bukhari wa Muslim, Juz 4. Libanon: Dar an-Nasyr, 2002.

Al-Makki, M. Alawi. Prinsip-prinsip Pendidikan Rasulullah. Jakarta: Gema Insani Presss, 2002.

A.M., Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

An-Naisaburi, Abu al-Husin Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi. Al-Jami’ al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim, Juz 6. Beirut: Dar al-Jail, tth.

As-Silmiy, Muhammad bin Isa Abu Isa at-Tirmizi. Al-Jami’ as-Sahih Sunan at-Tirmizi. Beirut: Dar al-Ihya` al-Turas al-‘Arabiy, tth.

Asy-Syaibani, Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 6. Kairo: Muassasah Qurtubah, tth.

Dep. Agama RI. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2007.

Khalifah, Mahmud dan Usamah Quthub. Kaifa Tasbaha Mu’alliman Mutamayyizan. Terj. Muhtadi Kadi dan Kusrin Karyadi. Surakarta: Ziyad Visi Media, 2009.

Nata, Abuddin dan Fauzan. Pendidikan dalam Perspektif Hadis. Jakarta: Proyek Pengadaan Buku Daras UIN Jakarta, 2005.

Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as. Sunan Abi Daud, Juz 3. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, tth.

Santoso, Edi dan Mite Setiansah. Teori Komunikasi. Yagyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Taymiyah, Syeikh al-Islam Ibn. ‘Ilm al-Hadis. Mesir: Dar al-Kitab al-Islamiyyah, 1974.

Ulwan, Abdullah Nasih. Pendidikan Anak dalam Islam. Jilid II. Diterjemahkan oleh Jamaluddin Miri. Jakarta: Pustaka Amani, 1999.






*Makalah disusun untuk mata kuliah Dasar-dasar Pendidikan dalam Hadis Semester I T.A. 2010/2011 pada Program Doktor Pendidikan Islam PPS IAIN Imam Bonjol Padang di bawah asuhan Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.




[1]Edi Santoso dan Mite Setiansah, Teori Komunikasi, (Yagyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 21.




[2]Ibid.




[3]Ibid., h. 22.




[4]Ibid., h. 27.




[5]Ibid.




[6]Ibid., h. 30.




[7]Ibid., h. 37.




[8]Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 7.




[9]Ibid., h. 7-8.




[10]Ibid., h. 8.




[11]Proses belajar mengajar mengandung segi normative dan teknis. Segi normative mendasari proses belajar mengajar. Dalam peristiwa pendidikan, pendidik dan anak didik berpegang pada ukuran, norma hidup, pandangan terhadap individu dan masyarakat, nilai-nilai moral, kesusilaan, yang kesemuanya merupakan sumber norma dalam pendidikan. Dari sudut teknis, pendidikan merupakan suatu kegiatan praktis yang berlangsung dalam suatu masa dan terikat dalam satu situasi serta terarah pada satu tujuan. Peristiwa tersebut adalah suatu rangkaian komunikasi antarmanusia. Satu rangkaian perubahan dan pertumbuhan fungsi jasmaniah, pertumbuhan watak, pertumbuhan intelek dan pertumbuhan social. Semuan ini tercakup dalam peristiwa pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan himpunan cultural yang sangat kompleks yang dapat digunakan sebagai perencanaan kehidupan manusia. Ibid., h. 13-14.




[12]Ibid., h. 15-17.




[13]Abdullah Nasih Ulwan (selanjutnya disebut Ulwan), Pendidikan Anak dalam Islam. Jilid II. Diterjemahkan oleh Jamaluddin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 142.




[14]Ibid., h. 144.




[15]Dep. Agama RI, h. 420.




[16]Ibid., h. 424.




[17]Ulwan, h. 144.




[18]Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz 6, (Kairo: Muassasah Qurtubah, tth), h. 91.




[19]Hadis ini menurut Ibnu Taymiyyah secara maknawi adalah sahih, meskipun sanadnya tidak begitu jelas. Lihat Syeikh al-Islam Ibn Taymiyyah, ‘Ilm al-Hadis, (Mesir: Dar al-Kitab al-Islamiyyah, 1974), h.  521.




[20]Muhammad bin Isa Abu Isa at-Tirmizi as-Silmiy (selanjutnya disebut at-Tirmizi), al-Jami’ as-Sahih Sunan at-Tirmizi, (Beirut: Dar al-Ihya` al-Turas al-‘Arabiy, tth), h. 559.




[21]Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 6 (Kairo: Muassasah Qurtubah, tth), h. 198.




[22]At-Tirmizi. al-Jami’ as-Sahih Sunan at-Tirmizi, Juz 13, h. 454.




[23]Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2007), h. 314.




[24]Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as Sajastani, Sunan Abi Daud, Juz 3 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, tth), 359.




[25]Dep. Agama RI, h. 546.




[26]Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain an-Naisaburi, Shahih Muslim,Juz 3 (Beirut: Dar al-Ihya` al-Turats al-‘Arabi, tth), h 1624.




[27]Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari (selanjutnya disebut al-Bukhari), Shahih Bukhari, Juz 7, (Mesir: al-Matba’ah al-Amiriyah, 1313 H), h. 426.




[28]Al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz 20, h. 152.




[29]Ulwan, h. 28.




[30]Abu al-Husin Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an Naisaburi, al-Jami’ al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim, Juz 6 (Beirut: Dar al-Jail, tth), h. 99.




[31]Ulwan, h. 312.




[32]‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Abu Muhammad ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1407 H), h. 100.




[33]At-Tirmidzi, Juz 5, h. 48.




[34]Mahmud Khalifah dan Usamah Quthub, h. 8.




[35]Ibid., h. 8-9.




[36]Ibid., h. 7.




[37]Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: Proyek Pengadaan Buku Daras UIN Jakarta, 2005), h. 261-263.




[38]M. Alawi al-Makki, Prinsip-prinsip Pendidikan Rasulullah, (Jakarta: Gema Insani Presss, 2002), 22.




[39]Ibid., h. 23.

1 comment:

  1. […] protes. Toh, prinsip pembelajaran yang kita jalankan saat ini adalah pendidikan yang demokratis. Relasi guru-murid tidak lagi sebagai relasi yang kaku dan menakutkan. Murid bebas mengekspresikan apa yang dia […]

    ReplyDelete