MENIMBANG "DALIHAN NATOLU" SEBAGAI METAFORA PARADIGMA KEILMUAN IAIN PADANGSIDIMPUAN

 "Dalihan natolu" (tungku yang tiga) adalah pranata budaya Tapanuli yang menyimbolkan nilai tradisional berupa hubungan sosial kekeluargaan yang erat dan kuat antar keluarga di tengah masyarakat Tapanuli. Jika dilihat dari perspektif seorang ayah sebagai kepala keluarga, maka mora adalah keluarga pihak ibu, kahanggi  adalah keluarga pihak saudara ayah dan se-marga,  dan anak boru adalah keluarga ipar (menantu laki-laki ayah). Pranata sosial "Dalihan natolu" ini terbentuk melalui hubungan pernikahan. Dengan "dalihan natolu" pada gilirannya terbangun integrasi sosial warga masyarakat. Seluruh anggota masyarakat terintegrasi dengan nilai "dalihan natolu".

Kehadiran Islam sebagai agama turut memperkuat nilai-nilai kekerabatan "dalihan natolu" yang telah hidup dan berakar kuat di tengah masyarakat. Posisi wahyu (Al-Qur`an) dalam realitas kekerabatan "dalihan natolu" ini menjadi sumber penguatan setiap nilai-nilai yang relevan dengan Qur`an.

Dalam arti yang lebih luas, "dalihan natolu" dimaksud dapat pula dimaknai sebagai nilai moderasi, harmonisasi dan toleransi antar berbagai etnis dan suku yang memiliki hubungan pernikahan dengan etnik Tapanuli. Disebut demikian karena etnis mana pun yang memiliki hubungan pernikahan dengan etnik Tapanuli, akan dapat diposisikan berdasarkan nilai kekerabatan "dalihan natolu". Di sisi lain, terdapat pula nilai moral-filosofis yang berangkai dengan "dalihan natolu" yaitu "malo mar-Tuhan, malo marroha, malo marbisuk" (bertauhid, memiliki kepekaan nurani dan memiliki kecerdasan/intelektualitas).

Nilai "mar-Tuhan" dan "marroha" dapat dipadankan dengan nilai ilahiyah dan insaniyah. Sementara "marbisuk" dapat dipadankan dengan kemampuan intelektualitas yang mesti terintegrasi dengan "mar-Tuhan" dan "marroha". Dengan demikian, "dalihan natolu" secara ontologis mengimplisitkan integrasi ketuhanan dan keinsanan. Sementara dimensi intelektualitas tumbuh kembang seiring dengan ketuhanan dan keinsanan.

Konsep "dalihan natolu" ini sebenarnya terbuka untuk diinterpretasi dengan cerdas sampai kepada aspek integrasi epistemologis. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Disebut demikian karena secara operatif, nilai "mar-Tuhan", "marroha" dan "marbisuk" ini telah terterapkan dalam bahasa verbal dan narasi keilmuan warga Tapanuli.

Wallahu a'lam.


3 comments:

  1. Menjadikan local wisdom Dalihan Natolu sebagai paradigma keilmuan merupakan diskusi yang menarik. Tapi mengapa local wisdom? kenapa tidak sekalian Paradidma Pancasila saja yang sudah establish? apakah konsep dahlian natolu mampu menjawab tantangan perkembangan global ilmu pengetahuan? menjadikan local wisdom sebagai paradigma keilmuan itu tidak mudah karna tidak ada acuan pembandingnnya (benchmark). apakah ada diantara 100 universitas top dunia menjadikan local wisdom sebagai paradigma pengembangan keilmuannya? masih butuh kajian mendalam.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih. Bapak telah berani menawarkan sesuatu yang berbeda. saya sangat mengapresiasinya

    ReplyDelete
  3. Terima kasih apresiasinya adinda Doctor Candidate. Saat ini kita sedang mencari simbolisme yang tepat untuk menggambarkan integrasi tiga istilah penting dalam naskah integerasi keilmuan IAIN Padangsidimpuan. Tiga istilah penting itu "ketuhanan", "kemanusiaan" dan "kealaman" (ilahiyah, insaniyah dan kauniyah). Dalam naskah disimbolkan dengan nama piramida lalu diberi nama Pyramid of Sciences. Sebagian teman-teman merasa penggunaan piramid yang nota bene karya Fir'aun-Mesir sebagai simbol integrasi, kurang tepat. Hak ini mengingat Fir'an itu manusia anti Tuhan. Oleh karena itu perlu dicari simbolisme yang mudah dipahami dan dimaknai serta dapat merepresentasikan 3 istilah penting tadi.

    ReplyDelete