RUMUSAN MASALAH PENELITIAN KUALITATIF S.1
Masukan untuk Pedoman Penelitian Kualitatif S.1 STAIN Padangsidimpuan:
Dalam konteks upaya perbaikan kualitas penelitian sosial mahasiswa dalam bentuk Skripsi yang menggunakan metode kualitatif, terkait dengan perumusan masalah, saya ingin menyampaikan hal berikut:
Dalam beberapa tahun pengalaman sebagai pembimbing II skripsi mahasiswa Jurusan Tarbiyah, saya sering menjumpai rumusan masalah penelitian skripsi yang tidak fokus. Akibatnya bidang garapannya menjadi terlalu luas, dan tentu saja tidak spesifik dan mendalam. Sebagai contoh:
Skripsi berjudul: KOMPETENSI GURU PAI DI SMPN X KOTA PADANGSIDIMPUAN
Si calon peneliti membuat rumusan masalah sbb:
Mengapa muncul rumusan masalah yang tidak fokus ini? Kemungkinan jawabannya: Calon peneliti tidak mengerti apa sesungguhnya yang menjadi fokus studinya. Bisa juga, ia belum memiliki pengetahuan teoritis tentang kompetensi guru, sehingga ia membuat rumusan masalah asal-asalan. Kemungkinan lain adalah kelemahan metodologis, yaitu pemahaman yang masih sangat dangkal tentang metode penelitian.
Bagaimana membuat rumusan masalah yang fokus? Menurut hemat saya, kalau fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keadaan kompetensi guru PAI, maka sub-sub fokus penelitian ini berdasarkan kajian kepustakaan (acuan teori) adalah:
Secara teoritis kompetensi paedagogik guru sekurang-kurangnya sbb:
a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
b. pemahaman terhadap peserta didik;
c. pengembangan kurikulum atau silabus;
d. perancangan pembelajaran;
e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f. pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g. evaluasi hasil belajar; dan
h. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Mahasiswa calon peneliti, secara grounded reserach, boleh menjadikan keempat sub-fokus di atas sebagai rumusan masalah penelitiannya, tetapi tentu menjadi terlalu luas. Atau jika ia membatasinya hanya pada sub fokus kompetensi paedagogik, maka contoh rumusan masalahnya sebagai berikut:
a. Bagaimana pemahaman guru PAI terhadap wawasan atau landasan kependidikan;
b. Bagaimana kemampuan guru PAI memahami peserta didik;
c. Bagaimana kemampuan guru PAI dalam mengembangan kurikulum atau silabus;
d. Bagaimana kemampuan guru PAI merancang pembelajaran;
e. Bagaimana kemampuan guru PAI dalam melaksanakan pembelajaran yang endidik
dan dialogis;
f. Bagaimana kemampuan guru PAI dalam memanfaatkan teknologi pembelajaran;
g. Bagaimana kemampuan guru PAI melakukan evaluasi hasil belajar; dan
h. Bagaimana kemampuan guru PAI dalam pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Dengan demikian, pada bab hasil penelitian (lazimnya dituangkan pada bab IV), rancangan daftar isinya sebagai berikut:
BAB IV: KOMPETENSI GURU PAI DI SMPN X KOTA PADANG-SIDIMPUAN
B. Kemampuan guru PAI memahami peserta didik
C. Kemampuan guru PAI dalam mengembangan kurikulum atau silabus
D. Kemampuan guru PAI merancang pembelajaran
E. Kemampuan guru PAI dalam melaksanakan pembelajaran yang endidik
dan dialogis
F. Kemampuan guru PAI dalam memanfaatkan teknologi pembelajaran
G. Kemampuan guru PAI melakukan evaluasi hasil belajar
H. kemampuan guru PAI dalam pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya
Contoh Lain:
Skripsi berjudul “PEMBINAAN AKHLAK SANTRI PADA PONDOK PESANTREN X DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN”
Mahasiswa membuat rumusan masalah sbb:
Rumusan masalah yang demikian juga merupakan contoh rumusan masalah yang tidak fokus/spesifik. Seyogianya peneliti terlebih dahulu memahami dengan baik sub-sub fokus penelitian ini. Jika pada kajian teori (acuan teori) tidak ditemukan sub fokusnya, maka sub fokus dimaksud, secara domain analisys, dapat disebutkan misalnya:
Mahasiswa calon peneliti masih mungkin menambah sub-sub fokus di atas, atau mungkin saja menggantinya sesuai temuan di lapangan. Jika sub-sub fokus di atas, secara domain analisys, sesuai dengan kondisi aktual di lapangan, maka peneliti dapat merumuskan keseluruhannya menjadi rumusan masalah. Atau, untuk memudahkan pekerjaan, calon peneliti dapat pula membatasinya pada beberapa hal berikut, misalnya:
Dengan demikian, pada bab hasil penelitian yang dalam daftar isi lazim dituangkan pada bab IV, isinya sebagai berikut:
BAB IV: PEMBINAAN AKHLAK SANTRI DI PONDOK PESANTREN X KABUPATEN TAPANULI SELATAN
Secara garis besar bentuk perumusan masalah itu ada tiga, yaitu bentuk proporsional, bentuk diskusi, dan bentuk gabungan (proporsional-diskusi). Bentuk perumusan masalah secara proporsional adalah sebagaimana dicontohkan di atas. Hemat saya, bentuk perumusan masalah seperti di ataslah yang lebih mudah dilakukan oleh mahasiswa yang akan menulis Skripsi.
Catatan:
1. Rujukan utama naskah ini dapat dilihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Ed. Revisi), Cet. Ke-26, 2009, terutama h. 120-121; selain itu lihat Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, 1990, h. 42-43; Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, 2001, h. 48-50; L.R. Gay dan Peter Airasian, Educational Research: Competencies for Analysis and Application, Ed. Ke-6, 1996, h. 204-205; Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, 2003, h. 26-27.
2. Dalam penelitian kualitatif, fokus masalah masih bersifat tentatif (sementara); dalam arti sewaktu peneliti di lapangan, sangat mungkin fokus dan sub-sub fokusnya berubah sesuai dengan realitas di lapangan.
3. Kepustakaan (acuan teori) hanya berfungsi mengarahkan perumusan masalah. Maksudnya, jika realitas di lapangan menunjukkan sesuatu yang berbeda dengan kepustakaan (acuan teori), maka peneliti harus merumuskan kembali masalah penelitiannya sesuai realitas dimaksud.
4. Pemecahan atau solusi sebagaimana biasa dicantumkan oleh mahasiswa dalam rumusan masalah, tidak tepat dimasukkan dalam rumusan masalah, kerena tidak masuk dalam rincian fokus (sub fokus/domain) penelitian. Lagi pula tidak terkait dengan data yang akan dihimpun dari lapangan.
5. Kalaupun ingin membuat rekomendasi, maka sebaiknya di letakkan pada halaman lampiran.
Demikian masukan ini disampaikan, terima kasih.
Dalam konteks upaya perbaikan kualitas penelitian sosial mahasiswa dalam bentuk Skripsi yang menggunakan metode kualitatif, terkait dengan perumusan masalah, saya ingin menyampaikan hal berikut:
Dalam beberapa tahun pengalaman sebagai pembimbing II skripsi mahasiswa Jurusan Tarbiyah, saya sering menjumpai rumusan masalah penelitian skripsi yang tidak fokus. Akibatnya bidang garapannya menjadi terlalu luas, dan tentu saja tidak spesifik dan mendalam. Sebagai contoh:
Skripsi berjudul: KOMPETENSI GURU PAI DI SMPN X KOTA PADANGSIDIMPUAN
Si calon peneliti membuat rumusan masalah sbb:
- Bagaimana kompetensi guru PAI di SMPN X Kota Padangsidimpuan?
- Apa saja kelemahan kompetensi guru PAI di SMPN X Kota Padangsidimpuan?
- Bagaimana cara mengatasi kelemahan kompetensi guru PAI di SMPN X Kota Padangsidimpuan?
Mengapa muncul rumusan masalah yang tidak fokus ini? Kemungkinan jawabannya: Calon peneliti tidak mengerti apa sesungguhnya yang menjadi fokus studinya. Bisa juga, ia belum memiliki pengetahuan teoritis tentang kompetensi guru, sehingga ia membuat rumusan masalah asal-asalan. Kemungkinan lain adalah kelemahan metodologis, yaitu pemahaman yang masih sangat dangkal tentang metode penelitian.
Bagaimana membuat rumusan masalah yang fokus? Menurut hemat saya, kalau fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keadaan kompetensi guru PAI, maka sub-sub fokus penelitian ini berdasarkan kajian kepustakaan (acuan teori) adalah:
- kompetensi pedagogik,
- kompetensi kepribadian,
- kompetensi sosial, dan
- kompetensi professional.
Secara teoritis kompetensi paedagogik guru sekurang-kurangnya sbb:
a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
b. pemahaman terhadap peserta didik;
c. pengembangan kurikulum atau silabus;
d. perancangan pembelajaran;
e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f. pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g. evaluasi hasil belajar; dan
h. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Mahasiswa calon peneliti, secara grounded reserach, boleh menjadikan keempat sub-fokus di atas sebagai rumusan masalah penelitiannya, tetapi tentu menjadi terlalu luas. Atau jika ia membatasinya hanya pada sub fokus kompetensi paedagogik, maka contoh rumusan masalahnya sebagai berikut:
a. Bagaimana pemahaman guru PAI terhadap wawasan atau landasan kependidikan;
b. Bagaimana kemampuan guru PAI memahami peserta didik;
c. Bagaimana kemampuan guru PAI dalam mengembangan kurikulum atau silabus;
d. Bagaimana kemampuan guru PAI merancang pembelajaran;
e. Bagaimana kemampuan guru PAI dalam melaksanakan pembelajaran yang endidik
dan dialogis;
f. Bagaimana kemampuan guru PAI dalam memanfaatkan teknologi pembelajaran;
g. Bagaimana kemampuan guru PAI melakukan evaluasi hasil belajar; dan
h. Bagaimana kemampuan guru PAI dalam pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Dengan demikian, pada bab hasil penelitian (lazimnya dituangkan pada bab IV), rancangan daftar isinya sebagai berikut:
BAB IV: KOMPETENSI GURU PAI DI SMPN X KOTA PADANG-SIDIMPUAN
- Pemahaman guru PAI terhadap wawasan atau landasan kependidikan
B. Kemampuan guru PAI memahami peserta didik
C. Kemampuan guru PAI dalam mengembangan kurikulum atau silabus
D. Kemampuan guru PAI merancang pembelajaran
E. Kemampuan guru PAI dalam melaksanakan pembelajaran yang endidik
dan dialogis
F. Kemampuan guru PAI dalam memanfaatkan teknologi pembelajaran
G. Kemampuan guru PAI melakukan evaluasi hasil belajar
H. kemampuan guru PAI dalam pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya
Contoh Lain:
Skripsi berjudul “PEMBINAAN AKHLAK SANTRI PADA PONDOK PESANTREN X DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN”
Mahasiswa membuat rumusan masalah sbb:
- Bagaimana usaha-usaha yang dilakukan dalam pembinaan akhlak santri Pondok Pesantren x di Kabupaten Tapanuli Selatan?
- Apa saja kendala pembinaan akhlak santri di Pondok Pesantren X di Kabupaten Tapanuli Selatan?
- Bagaimana solusi yang ditawarkan dalam pembinaan akhlak santri di Pondok Pesantren X di Kabupaten Tapanuli Selatan?
Rumusan masalah yang demikian juga merupakan contoh rumusan masalah yang tidak fokus/spesifik. Seyogianya peneliti terlebih dahulu memahami dengan baik sub-sub fokus penelitian ini. Jika pada kajian teori (acuan teori) tidak ditemukan sub fokusnya, maka sub fokus dimaksud, secara domain analisys, dapat disebutkan misalnya:
- Kegiatan bimbingan akhlak kepada para santri.
- Penerapan Kode etik santri di dalam dan di luar pesantren.
- Bimbingan dan konseling terhadap santri bermasalah (moral/akhlak).
- Keteladanan pimpinan ponpes, guru dan karyawan dalam pembinaan akhlak bagi para santri.
- Pembinaan akhlak santri melalui kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler.
- Pembinaan akhlak santri melalui kegiatan-kegiatan Osis atau organisasi santri.
Mahasiswa calon peneliti masih mungkin menambah sub-sub fokus di atas, atau mungkin saja menggantinya sesuai temuan di lapangan. Jika sub-sub fokus di atas, secara domain analisys, sesuai dengan kondisi aktual di lapangan, maka peneliti dapat merumuskan keseluruhannya menjadi rumusan masalah. Atau, untuk memudahkan pekerjaan, calon peneliti dapat pula membatasinya pada beberapa hal berikut, misalnya:
- Bagaimana bentuk bimbingan akhlak kepada para santri?
- Bagaimana keteladanan pimpinan, guru dan karyawan pesantren dalam pembinaan akhlak santri?
- Bagaimana penerapan kode etik santri di dalam dan di luar pesantren?
- Bagaimana bentuk-bentuk kegiatan ekstra kurikuler yang berfungsi dalam pembinaan akhlak santri?
Dengan demikian, pada bab hasil penelitian yang dalam daftar isi lazim dituangkan pada bab IV, isinya sebagai berikut:
BAB IV: PEMBINAAN AKHLAK SANTRI DI PONDOK PESANTREN X KABUPATEN TAPANULI SELATAN
- Bentuk-bentuk Bimbingan dalam Pembinaan Akhlak Santri
- Keteladanan Pimpinan, Guru dan Karyawan dalam Pembinaan Akhlak Santri
- Penerapan Kode Etik Santri di Dalam dan di Luar Pondok Pesantren
- Bentuk-bentuk Kegiatan Ekstra Kurikuler yang Berfungsi Membina Akhlak Santri
Secara garis besar bentuk perumusan masalah itu ada tiga, yaitu bentuk proporsional, bentuk diskusi, dan bentuk gabungan (proporsional-diskusi). Bentuk perumusan masalah secara proporsional adalah sebagaimana dicontohkan di atas. Hemat saya, bentuk perumusan masalah seperti di ataslah yang lebih mudah dilakukan oleh mahasiswa yang akan menulis Skripsi.
Catatan:
1. Rujukan utama naskah ini dapat dilihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Ed. Revisi), Cet. Ke-26, 2009, terutama h. 120-121; selain itu lihat Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, 1990, h. 42-43; Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, 2001, h. 48-50; L.R. Gay dan Peter Airasian, Educational Research: Competencies for Analysis and Application, Ed. Ke-6, 1996, h. 204-205; Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, 2003, h. 26-27.
2. Dalam penelitian kualitatif, fokus masalah masih bersifat tentatif (sementara); dalam arti sewaktu peneliti di lapangan, sangat mungkin fokus dan sub-sub fokusnya berubah sesuai dengan realitas di lapangan.
3. Kepustakaan (acuan teori) hanya berfungsi mengarahkan perumusan masalah. Maksudnya, jika realitas di lapangan menunjukkan sesuatu yang berbeda dengan kepustakaan (acuan teori), maka peneliti harus merumuskan kembali masalah penelitiannya sesuai realitas dimaksud.
4. Pemecahan atau solusi sebagaimana biasa dicantumkan oleh mahasiswa dalam rumusan masalah, tidak tepat dimasukkan dalam rumusan masalah, kerena tidak masuk dalam rincian fokus (sub fokus/domain) penelitian. Lagi pula tidak terkait dengan data yang akan dihimpun dari lapangan.
5. Kalaupun ingin membuat rekomendasi, maka sebaiknya di letakkan pada halaman lampiran.
Demikian masukan ini disampaikan, terima kasih.
syukron katsiron ustadz a'la hadzihil musa'adah wal ma'lumaat..:)
ReplyDelete